Jakarta -
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan rencana Indonesia untuk menyetop impor Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Singapura. Impor BBM dari Singapura saat ini sekitar 54-59% dari total keseluruhan impor BBM RI.
Bahlil mengatakan pertimbangan Indonesia menyetop impor BBM dari Singapura lantaran harga beli BBM dari Singapura dinilai sama dengan harga beli di kawasan Timur Tengah. Hal ini diketahuinya setelah dilakukan evaluasi terhadap pengadaan impor energi.
"Impor BBM kita 54-59% itu berasal dari negara tetangga kita (Singapura). Setelah saya cek kok harganya sama dibandingkan dengan dari negara Middle East. Ya kalau begitu kita mulai berpikir bahwa mungkin, bukan kata mungkin lagi nih, sudah hampir pasti, kita akan mengambil minyak dari negara lain yang bukan dari negara itu," kata Bahlil saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat (9/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahlil mengatakan rencana penyetopan impor tersebut akan dilakukan secara bertahap. Di mana rencana penyetopan itu ditargetkan akan terjadi dalam kurun waktu enam bulan ke depan.
"Bertahapan ya. Tahap sekarang mungkin bisa sampai 50-60 persen. Dan mungkin suatu saat akan nol," katanya.
Ia mengatakan, pelaksanaan waktu tersebut dilakukan sejalan dengan menyiapkan infrastruktur bagi kapal-kapal besar yang bakal mengangkut bbm dari kawasan Timur Tengah maupun Amerika Serikat (AS).
"Sekarang kita, Pertamina, lagi membangun dermaga-dermaga yang bisa impor yang besar. Karena kalau dari Singapura kan kapalnya yang kecil-kecil. Itu juga salah satu alasan. Jadi kita membangun yang besar, supaya satu kali tidak ada masalah," katanya.
Bahlil menambahkan, alasan lainnya ialah adanya kondisi geopolitik yang terjadi saat ini, di mana Pemerintah AS menerapkan tarif resiprokal sebesar 32% kepada Indonesia.
Adapun untuk mengatasi tarif tersebut, Bahlil bilang Pemerintah Indonesia tengah melakukan negosiasi dengan Pemerintah AS. Dalam negosiasi tersebut Pemerintah Indonesia menawarkan untuk membeli produk LPG, minyak dan juga BBM ke AS.
"Tidak hanya itu, ini ada masalah geopolitik, geoekonomi. Kita mungkin juga harus membuat keseimbangan bagi yang lain," katanya.
(rrd/rrd)