Jakarta -
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto menyatakan ketidakpastian pasokan gas dan tingginya biaya tambahan atau harga regasifikasi gas alam cair (LNG) bisa merusak iklim investasi dan kepastian berusaha di Indonesia.
Edy mengatakan kondisi itu dapat mengganggu peta jalan industri keramik nasional yang telah merencanakan ekspansi kapasitas dari 625 juta m2/tahun, menjadi 718 juta m2/tahun pada akhir 2026 dan meningkat ke 850 juta m2/tahun kapasitas produksi keramik di 2030.
"Ketidakpastian supply gas dan mahalnya harga surcharge gas atau harga regasifikasi gas tentunya merusak iklim berinvestasi dan kepastian berusaha di Indonesia sehingga mengganggu roadmap industri keramik nasional yang telah merencanakan ekspansi kapasitas," kata Edy dalam keterangan tertulis, Jumat (9/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada dasarnya, Edy menyebut tingkat utilisasi industri keramik pada kuartal I-2025 telah menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan ke level 75% dibandingkan rata-rata tahun 2024 di 65%. Bahkan proyeksi pertumbuhan bisa mencapai 85% setelah mendapatkan dukungan kebijakan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan pemberlakuan SNI wajib untuk keramik.
"Namun dengan gangguan supply gas tersebut membuat posisi industri keramik maju mundur kena," tutur Edy.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memperpanjang kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi tujuh sektor industri sebesar US$ 6,5-7 per MMBTU. Meski demikian, realisasi di lapangan industri harus membayar gas hingga US$ 16,77 per MMBTU karena harus menggunakan LNG.
Edy menyebut sepanjang Januari-April 2025 penerapan kebijakan ini tidak berjalan sesuai harapan industri keramik. Pasalnya, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menerapkan besaran persentase Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) yang semakin menurun.
Misalnya saja, di Jawa bagian barat AGIT hanya sebesar 65,3%, sementara di Jawa bagian timur 48,8%. Hal ini membuat industri harus memproduksi dengan rata-rata biaya gas hingga di atas US$ 8 per MMBTU, atau sekitar 15% lebih mahal.
"Sangat disayangkan terlebih untuk Jawa bagian Timur yang seharusnya tidak ada kendala tentang supply gas, namun diinfokan adanya gangguan di hulu yang membutuhkan waktu perbaikan sampai Oktober mendatang," imbuhnya.
Menurutnya, kehadiran pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM sangat dibutuhkan untuk menengahi masalah defisit pasokan gas karena industri tidak mungkin tumbuh tanpa kelancaran pasokan gas. "Dan industri tidak mungkin bisa bertahan hidup dengan harga regasifikasi gas US$ 16,77 per MMBTU yang dikenakan oleh PGN," pungkas Edy.
(aid/ara)