Jakarta -
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dapat memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3% hingga 0,5%. Indonesia sendiri terkena tarif impor sebesar 32%.
Sri Mulyani pun menyambut baik jeda 90 hari yang diberikan Trump kepada berbagai negara yang terkena tarif impor tinggi, termasuk Indonesia. Keputusan itu dinilai dapat memberi waktu untuk membicarakan solusi guna mengurangi risiko kebijakan tarif terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Situasi terkini yang diperkirakan, sebelum jeda, dapat mengurangi potensi pertumbuhan kita antara 0,3% hingga 0,5% dari PDB. Jeda 90 hari dalam penerapan pungutan tersebut memberikan waktu untuk membahas solusi," kata Sri Mulyani dikutip dari Reuters, Kamis (10/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sri Mulyani menyebut Indonesia akan memanfaatkan jeda 90 hari untuk menyusun kerangka kerja sama dan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk meningkatkan ketahanan kawasan tersebut. Tawaran yang sedang direncanakan di antaranya peningkatan impor dari AS dan prosesnya yang lebih mudah, hingga pemotongan pajak.
"Di tengah tekanan tarif sepihak dari AS, Indonesia tidak hanya merespons secara bilateral, tetapi juga memilih membangun solidaritas regional sebagai upaya memperkuat posisi tawar kolektif. Kerangka kerja sama ini harus diwujudkan dalam agenda konkret seperti penguatan rantai pasok regional, harmonisasi standar industri dan perluasan pasar intra ASEAN agar tidak berhenti pada retorika diplomatik," ucapnya.
AS merupakan tujuan ekspor terbesar ketiga Indonesia, di mana tahun lalu nilainya mencapai US$ 26,3 miliar. Hal itu membuat penerapan tarif resiprokal Trump sebesar 32% dapat memberikan tekanan besar terhadap perekonomian Indonesia.
Indonesia sendiri telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% di 2025, lebih tinggi dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebesar 5,03%. Angka itu masih jauh dari harapan Presiden Prabowo Subianto yang ingin mendongkrak pertumbuhan menjadi 8% pada tahun 2029.
"Kita harus terus bersikap sangat hati-hati. Pengeluaran harus dibuat lebih efisien, tepat sasaran dan efektif dalam mendukung pertumbuhan di sisi moneter," kata Sri Mulyani.
(aid/rrd)