Harga minyak mentah ditutup melemah pada Jumat (15/11/2024) setelah mencatat kenaikan selama tiga hari berturut-turut.
Potensi Rebound Harga Minyak Mentah Dunia. (Foto: Freepik)
IDXChannel - Harga minyak mentah ditutup melemah pada Jumat (15/11/2024) setelah mencatat kenaikan selama tiga hari berturut-turut, dipicu oleh tanda-tanda lemahnya permintaan dari China dan kenaikan stok minyak di Amerika Serikat (AS) pekan lalu.
WTI crude untuk pengiriman Desember turun USD1,68, berakhir di USD67,02 per barel pada Jumat.
Sementara itu, Brent crude untuk pengiriman Januari, yang menjadi acuan global, turun USD1,42 ke USD71,14 per barel.
Selama pekan lalu, kedua kontrak minyak acuan tersebut merosot 4 persen.
Secara teknikal, dalam grafik harian, futures Brent saat ini berada di area support 70,65-70,00 dengan resistance terdekat di 72,00-73,00.
Sedangkan, futures WTI melayang di kisaran level support 66,00-65,00. Level resistance terdekat untuk minyak WTI berada di 67,00-67,50.
Sebelumnya, China kembali melaporkan penurunan pengolahan minyak di kilangnya selama Oktober, menunjukkan permintaan dari importir terbesar dunia itu terus melemah seiring perlambatan ekonominya.
PVM Oil Associates mencatat, dikutip MT Newswires, Jumat (15/11), "China memberikan pengingat yang tepat waktu tentang kondisi sebenarnya di sektor minyaknya. Pengolahan kilang negara itu turun untuk bulan ketujuh berturut-turut pada Oktober."
“Meski penjualan ritel stabil bulan lalu, pertumbuhan output industri China melambat, yang berdampak negatif pada kebutuhan minyak mentah impor,” katanya.
Penurunan harga minyak ini juga mengikuti laporan stok minyak AS dari Energy Information Administration (EIA) pada Kamis, yang menunjukkan kenaikan lebih besar dari perkiraan, yakni 2,1 juta barel.
Baik EIA maupun International Energy Agency (IEA) pekan lalu memperingatkan, pasokan diperkirakan akan surplus pada kuartal II-2025.
Hal ini didorong oleh kenaikan produksi di tengah lemahnya permintaan akibat perlambatan ekonomi China dan meningkatnya pangsa pasar kendaraan listrik.
Futures WTI mencatat pelemahan mingguan, juga dipicu kekhawatiran potensi peningkatan produksi minyak AS di bawah pemerintahan baru Donald Trump.
Penguatan dolar AS turut menjadi beban bagi harga minyak mentah, mengingat komoditas ini dihargai dalam dolar, sehingga daya tariknya berkurang.
Data ekonomi yang dirilis baru-baru ini menunjukkan perekonomian Negeri Paman Sam tetap tangguh, yang dapat membuat Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) memperlambat penurunan suku bunga dibandingkan ekspektasi sebelumnya.
Sebelumnya, Ketua The Fed Jerome Powell pada Kamis menyatakan, bank sentral tidak perlu terburu-buru menurunkan suku bunga, mengingat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pasar kerja yang solid, dan inflasi yang masih di atas target 2 persen.
"Selama 48 jam terakhir, kita melihat perubahan signifikan, bukan hanya dari hasil pemilu, tetapi juga data ekonomi yang lebih baik dari perkiraan serta pernyataan Powell yang menyiratkan sikap yang kurang agresif terhadap penurunan suku bunga," ujar Wakil Kepala Investasi Vaughan Nelson, Adam Rich.
"Ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga menurun drastis, dan pasar kini sedang menyesuaikan diri setelah reaksi yang cukup optimistis (bullish) terhadap pemilu AS." (Aldo Fernando)