Mengapa Ada Orang Kaya yang Tidak Bahagia? Ini Jawaban Psikolog Para Crazy Rich

2 hours ago 1

Orang yang sangat kaya sekalipun masih bisa merasa bahagia. Mereka umumnya telah kehilangan target dan tujuan hidup.

Mengapa Ada Orang Kaya yang Tidak Bahagia? Ini Jawaban Psikolog Para Crazy Rich. (Foto: Freepik)

Mengapa Ada Orang Kaya yang Tidak Bahagia? Ini Jawaban Psikolog Para Crazy Rich. (Foto: Freepik)

IDXChannelMengapa ada orang kaya yang tidak bahagia? Bagi orang biasa, uang dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi kesulitan. Hidup dapat diatur dan dijalani lebih mudah selama ada uang yang cukup di rekening. 

Dengan memiliki uang, individu bisa mengambil pilihan dengan bebas tanpa beban. Dapat memilih sekolah terbaik untuk anak, memilih rumah dengan lokasi paling strategis, dan memilih fasilitas kesehatan terbaik tanpa mengandalkan jaminan kesehatan dari negara. 

Sementara keterbatasan finansial berpotensi membuat individu stress dan cemas, karena harus bekerja lebih keras demi memenuhi kebutuhan hidup yang membutuhkan biaya tak sedikit. Maka tak mengherankan bila wacana financial freedom didamba banyak orang. 

‘Uang bukanlah segalanya’ adalah konsep universal yang dipahami semua orang. Namun untuk hidup dengan standar kelayakan paling minim pun, kita semua membutuhkan uang. Setidaknya dalam jumlah yang cukup. 

Lalu, apakah ketika individu sudah kaya raya dan memiliki banyak uang, berarti kebahagiannya terjamin dengan pasti? Ternyata belum tentu. Rupanya, uang dapat memengaruhi kondisi psikologis seseorang. 

Dua kondisi kesejahteraan yang saling bertolak belakang ini, miskin ataupun kaya, sama-sama berpotensi besar memengaruhi kondisi psikis orang yang bersangkutan. Orang miskin bisa tidak bahagia, demikian juga dengan orang yang sangat kaya

Mengapa Ada Orang yang Kaya yang Tidak Bahagia, Kesaksian Psikolog dan Hasil Riset 

Pemenang hadiah nobel ekonomi Daniel Kahneman dan Angus Deaton pernah menggelar studi yang melibatkan 450.000 penduduk AS untuk mengukur batas uang atau pendapatan yang dapat berkontribusi pada kebahagiaan seseorang. 

Studi itu menghasilkan kesimpulan bahwa peningkatan pendapatan bisa membuat para partisipan bahagia, tetapi batas maksimalnya adalah hingga USD75.000 per tahun. Lebih dari itu, para partisipan mengaku peningkatan pemasukan tak lagi membahagiakan. 

Sementara di lain waktu, seorang profesor dari University of Pennsylvania, Matthew Killingsworth, menggelar studi yang sama terhadap 34.000 partisipan. Hasilnya sedikit berbeda dengan studi dari Kahneman. 

Kahneman dan Killingsworth lantas melakukan studi kolaboratif untuk mendapatkan hasil pengukuran yang lebih akurat. Maka didapatlah kesimpulan baru, yakni: mayoritas partisipan dapat semakin bahagia ketika pendapatan bertambah. 

Sebagian kecil partisipan mengaku ‘mungkin’ mereka tak lagi bahagia ketika pendapatannya sudah menyentuh USD100.000 per tahun. Killingsworth mengatakan, “Jika kamu kaya raya tapi menderita, uang yang makin banyak tidak akan banyak membantu.” 

Dari sini, didapati bahwa sekalipun jumlah uang yang bertambah dapat membuat orang merasa bahagia, tetap ada batasan maksimal yang akhirnya membuat kebahagiaan dan rasa ‘excited’ itu perlahan pudar. 

Mengapa? Karena kesulitan hidup yang dulu terjadi karena keterbatasan uang, telah rampung dan terselesaikan dengan pendapatan yang besar. Orang yang terbiasa hidup sulit, dapat merasa lega dan bahagia ketika kesulitannya teratasi. 

Kebahagiaan pada orang dengan kesulitan ekonomi cenderung sederhana: selama masalah uang teratasi, maka dia bahagia. Namun begitu kesulitan itu akhirnya teratasi dan keinginan dapat tercapai dengan mudah, maka tidak ada lagi sumber kebahagiaan didapat. 

Hal ini selaras dengan pengalaman yang dibagikan oleh Clay Corkrell, psikoterapis dengan spesialisasi ultra-high net worth individual, atau orang dengan nilai aset sangat tinggi, alias kalangan satu persen, alias orang-orang dari kelas ekonomi paling puncak. 

Dalam tulisannya di The Guardian (15/11), Corkrell mengatakan bahwa klien-kliennya sering mengalami depresi karena berjuang dengan ‘tujuan hidup.’ Mereka tak lagi merasakan dan memiliki tujuan untuk beraktivitas dan bekerja.  

Alasannya? Karena semua kebutuhan telah teratasi dengan mudah. “Buat apa bekerja kalau kamu sudah membangun, atau mewarisi bisnis yang dapat beroperasi tanpa keterlibatanmu lagi?” kata Corkrell. 

Jika semua kebutuhan dan semua keinginan sudah dapat terpenuhi sampai tua, kata Corkrell, mungkin Anda pun bisa bermasalah dengan hidup yang tak lagi bermakna dan kehilangan ambisi untuk melakukan apa pun. 

“Klien saya sering sekali bosan dengan hidupnya, dan banyak yang akhirnya mengejar rasa senang dan adrenalin dengan obat-obatan untuk mengisi kekosongan itu,” lanjut Corkrell. 

Orang dengan pendapatan kecil hingga menengah, memiliki tujuan dalam keseharian dan hidupnya. Setiap hari kita bangun untuk bekerja, menargetkan tabungan agar punya dana darurat, menabung untuk biaya kuliah, menabung untuk membeli motor, dan sebagainya. 

Sementara orang-orang yang sudah sangat kaya, tidak lagi memiliki tujuan-tujuan ini. Mereka bisa hidup dengan sangat nyaman hingga tua, tidak lagi harus bekerja keras, sehingga mereka harus mengisi kekosongan tujuan ini dengan hal-hal lain. 

Selain itu, menurut Corkrell, orang-orang yang sangat kaya cenderung hidup dalam gelembungnya sendiri. Terlebih orang-orang kaya yang sejak kecil sudah kaya raya karena terlahir di keluarga berada. 

“Anak-anak yang sangat kaya ini, sejak kecil bersekolah di sekolah elite, lalu kuliah pun di kampus elite. Dari situ mereka membangun kultur dan ‘bahasa’ sendiri, jarang sekali mereka membangun pertemanan dengan orang di luar gelembungnya,” kata Corkrell. 

Pada akhirnya, lingkungan yang serba elite ini menjebak para orang kaya dalam gelembung yang sangat kecil. Mereka kerap kali tidak nyambung bersosialisasi dengan orang lain di luar circle mereka, dan ini dapat berujung pada minimnya empati. 

Selain terisolasi dan kehilangan tujuan hidup, para crazy rich satu persen ini juga hidup penuh curiga. Mereka menjadi individu yang tidak mudah percaya dengan orang lain. Mereka bahkan tidak percaya dengan orang-orang terdekatnya sendiri. 

“Saya selalu dengar keluhan ini dari klien saya, ‘Mereka ini mau apa dari saya?’ atau ‘Sepertinya mereka berteman dengan saya karena uang saja,’ dan sebagainya,” kata Corkrell.

Dari pengalaman Corkrell dan studi yang dilakukan Killingsworth dan Kahneman, dapat disimpulkan bahwa jumlah uang yang sangat banyak, kebutuhan hidup yang telah terjamin, berpotensi membuat seseorang kehilangan ambisi dan tujuan hidup. 

Meskipun ini terdengar ironis bagi kita para kelas pekerja: orang dengan penghasilan rendah dan menengah masih bisa membuat target dan berjuang mengejarnya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, kita masih punya tujuan dan arah hidup. 

Sementara orang kaya raya tidak. Mereka harus terus menerus mencari target baru. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila para pengusaha yang sudah kaya sekalipun, seringkali terus mengekspansi bisnis ke bidang-bidang lain. 

Melansir Harvard Business Review, artikel yang ditulis oleh Raj Raghunathan, seorang profesor bisnis di UT Austin, menyebutkan bahwa para peneliti di Notre Dame mencatat bahwa semakin murah hati seseorang, semakin mereka bahagia. 

Murah hati yang dimaksud tidak sebatas memberikan uang untuk sumbangan, tapi juga berbuat baik secara sukarela, dan secara emosional ‘available’ untuk teman-teman. Sementara hasil studi lain menyebutkan bahwa orang kaya cenderung pelit. 

“Kekayaan sepertinya membuat orang semakin tidak murah hati,” tulis Raj. Penelitian lain juga berteori bahwa kekayaan membuat orang semakin tidak murah hati karena harta membuat seseorang makin terisolasi, secara fisik maupun psikologis. 

Lagi-lagi, ini masih selaras dengan pengalaman para crazy rich klien Corkrell pada bahasan di atas. 

Itulah ulasan singkat tentang mengapa ada orang kaya yang tidak bahagia. 


(Nadya Kurnia)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |