Pengusaha Wanita Raih Pendanaan Rp 33 M Kembangkan Aplikasi Arisan

3 hours ago 2

Jakarta -

Seorang pengusaha milenial berhasil menggalang dana US$ 2 juta atau Rp 33,2 miliar (kurs Rp 16.600) untuk membangun aplikasi keuangan. Aplikasi itu ditujukan untuk metode pengelolaan uang secara tradisional yang digunakan oleh komunitas imigran.

Aplikasi tersebut bernama Bloom Money yang diciptakan oleh penduduk asli Silicon Valley bernama Nina Mohanty pada tahun 2021. Bloom Money merupakan teknologi finansial yang dirancang untuk mendukung komunitas imigran di Inggris untuk menabung uang secara kolaboratif.

Wanita berusia 32 tahun itu telah mengumpulkan £1,5 juta (US$ 2 juta) dalam bentuk modal ventura untuk membangun Bloom Money. Ia diketahui telah tinggal di Inggris selama satu dekade dan bekerja di bank seperti Klarna dan Mastercard.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mohanty menilai bank-bank arus utama tidak memahami bagaimana komunitas imigran mengelola uang mereka. Selama ini dalam manajemen uang, inovasi untuk komunitas imigran difokuskan pada pengiriman uang karena banyak yang mentransfer uang ke keluarga di negara asal mereka.

"Saya terus bertanya-tanya, mengapa semua inovasi tentang pengiriman uang dan bukan tentang pengumpulan sumber daya dan membangun kekayaan di sini?" ujarnya kepada CNBC, dikutip Senin (12/5/2025).

Ia menemukan para imigran cenderung menabung dengan cara yang berbeda. Dibanding mengandalkan opsi umum seperti rekening tabungan berbunga tinggi atau mengambil pinjaman dari bank, mereka mengandalkan komunitas dan kolaborasi.

"Saya berbicara dengan pengemudi bus saat istirahat atau bibi-bibi yang sedang membersihkan kantor dan bertanya kepada mereka bagaimana mereka mengelola uang mereka, dan saya menemukan hal ini di mana orang-orang mengumpulkan dana bersama," jelasnya.

Sistem pengumpulan dana informal ini melibatkan sekelompok orang yang berkomitmen untuk menabung bersama. Misalnya, tiga orang teman sepakat untuk masing-masing menyetor US$ 100 per bulan ke dalam wadah tabungan, sehingga totalnya menjadi US$ 300.

Pada bulan pertama, salah satu teman mendapatkan akses ke US$ 300 penuh, yang dapat digunakan untuk membeli tiket pesawat pulang, membeli sepatu baru untuk anak-anak, atau bahkan untuk berinvestasi dalam bisnis, dan lain sebagainya.

Pada bulan berikutnya, teman kedua dapat menggunakan US$ 300 tersebut. Rotasi ini berlanjut hingga setiap orang mendapat kesempatan untuk membelanjakan US$ 300 tersebut. Kelompok tersebut dapat sepakat untuk melanjutkan siklus tersebut selama yang mereka butuhkan.

"Secara akademis, ini disebut daftar atau stasiun bergilir (ROSCA), tetapi sangat dipimpin oleh komunitas. Ini sangat dipimpin oleh masyarakat," kata Mohanty,

Ia menambahkan, sejumlah kelompok etnis memiliki nama untuk praktik ini. Konsep ini dikenal sebagai chit fund oleh orang India, pardner oleh orang Jamaika, kameti oleh orang Pakistan, atau hagbad oleh orang Somalia. Di Indonesia, konsep tersebut mirip seperti arisan.

Mohanty menunjukkan bahwa komunitas imigran sering menghadapi diskriminasi dalam sistem keuangan.

"Di negara ini (Inggris), orang Jamaika, misalnya, biasa melakukan ini. Ketika generasi Windrush pertama kali datang, karena bank tidak mau memberi pinjaman kepada mereka, mereka secara efektif membangun kredit mikro ini di dalam komunitas mereka sendiri," tuturnya.

Kelompok etnis minoritas di Inggris masih melaporkan adanya diskriminasi. Sebuah laporan tahun 2023 oleh organisasi nirlaba Fair4All Finance menemukan bahwa satu dari lima orang kelompok minoritas mengalami diskriminasi rasial saat berurusan dengan penyedia layanan keuangan.

Selain itu, 28% mengatakan bahwa mereka berpikir bahwa cara kerja organisasi keuangan berarti kelompok etnis minoritas lebih mungkin diperlakukan tidak adil.

(kil/kil)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |