Harga minyak mentah menguat tipis pada Selasa (10/12/2024), meskipun tetap berada dalam rentang sempit di tengah stimulus baru dari China.
Harga Minyak Lanjut Naik di Tengah Stimulus China dan Ketegangan Geopolitik. (Foto: Freepik)
IDXChannel - Harga minyak mentah menguat tipis pada Selasa (10/12/2024), meskipun tetap berada dalam rentang sempit di tengah stimulus baru dari China dan gejolak di Suriah setelah jatuhnya rezim Assad.
Data pasar menunjukkan, kontrak berjangka (futures) minyak jenis Brent tumbuh 0,07 persen ke USD72,19 per barel pada Selasa, melanjutkan kenaikan 1,43 persen pada Senin.
Setali tiga uang, futures WTI terapresiasi 0,32 persen ke level USD68,59 per barel pada Selasa. Pada Senin, minyak WTI naik 1,74 persen.
Kenaikan ini terjadi sehari setelah China, sebagai importir minyak terbesar dunia, mengumumkan pelonggaran kebijakan moneter untuk pertama kalinya sejak 2010.
Mengutip MT Newswires, Selasa (10/12), langkah ini bertujuan mendukung ekonomi yang melemah akibat krisis utang di sektor properti, lemahnya konsumsi, dan tekanan deflasi, yang telah mengurangi pertumbuhan permintaan minyak dari negara tersebut.
“Investor yang awalnya ragu mulai percaya diri setelah pernyataan Politbiro China yang mengisyaratkan kebijakan moneter ‘longgar secara tepat’ disertai kebijakan fiskal proaktif tahun depan,” kata PVM Oil Associates.
“Namun, rincian kebijakan tersebut masih minim. Ekonomi baru akan terdorong jika ada peningkatan sentimen dan belanja konsumen, serta kenaikan permintaan domestik yang sehat diiringi inflasi konsumen yang membaik,” ujarnya.
Sejak akhir musim panas, harga minyak diperdagangkan dalam kisaran sempit, di tengah lemahnya pertumbuhan permintaan akibat perlambatan ekonomi China.
Sementara itu, peningkatan pasokan dari AS, Kanada, dan Amerika Selatan diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga 2025, meskipun OPEC+ mulai mengembalikan sebagian pemotongan produksi pada April mendatang.
Ketegangan geopolitik meningkat setelah rezim Assad di Suriah jatuh akhir pekan lalu. Pasukan pemberontak berhasil merebut Damaskus, ibu kota negara itu, dan memaksa Presiden Bashar al-Assad mencari suaka di Rusia.
Kejatuhan pemerintah Suriah dan kemenangan kelompok pemberontak yang dipimpin milisi Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) menciptakan ketidakpastian baru di Timur Tengah yang sudah bergolak, seiring konflik Israel dengan pasukan dukungan Iran di Gaza dan Lebanon.
Assad yang sebelumnya didukung Iran dan Rusia tak mendapatkan bantuan karena Rusia terlibat perang di Ukraina, sementara jaringan milisi proksi Iran telah hancur oleh serangan Israel.
“Ketidakmampuan Rusia dan Iran untuk membantu Assad, terutama lewat kekuatan udara, jelas mengubah dinamika keseimbangan kekuasaan di konflik tersebut,” ujar Kepala Strategi Komoditas Global dan Penelitian MENA di RBC Capital Markets, Helima Croft.
Croft menjelaskan, pihaknya akan terus memantau dampak kejatuhan Assad terhadap kepemimpinan di Teheran dan Moskow.
“Bagi Iran, kehilangan Assad adalah pukulan besar lainnya bagi jaringan proksi bersenjata dalam Poros Perlawanan mereka,” tambahnya.
Pasar kini menunggu laporan bulanan OPEC dan data inventori mingguan dari EIA yang akan dirilis besok.
“Laporan OPEC bisa memberikan panduan tambahan yang cenderung bearish jika organisasi tersebut menyesuaikan permintaan minyak lebih rendah mengikuti proyeksi IEA, yang menggambarkan situasi permintaan global yang berbeda,” kata perusahaan konsultan energi Ritterbusch dalam sebuah catatan.
“Faktor geopolitik yang sebelumnya sering memicu lonjakan harga minyak tampaknya mulai kehilangan pengaruhnya sebagai faktor penentu harga,” ujar Ritterbusch. (Aldo Fernando)