Beri Multiplier Effect Besar, Industri Migas Nasional Perlu Kebijakan Berkelanjutan

1 month ago 26

Sektor hulu migas Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memenuhi target produksi di tengah ketatnya persaingan global dan fluktuasi harga energi.

 MNC Media)

Beri Multiplier Effect Besar, Industri Migas Nasional Perlu Kebijakan Berkelanjutan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memenuhi target produksi di tengah ketatnya persaingan global dan fluktuasi harga energi.

Berdasarkan data SKK Migas pada tahun ini, rata-rata lifting minyak bumi hanya mencapai 605,5 ribu barel per hari (bph), jauh di bawah target APBN sebesar 660 bph. Sementara itu, lifting gas bumi mencatatkan peningkatan sebesar 2,2 persen menjadi 960 ribu barel setara minyak per hari (boepd) pada 2023.

Sebagai perbandingan, pada 2022 lifting minyak sebesar 612 ribu bph, dan lifting gas 953 ribu barel setara minyak per hari. Adapun di 2021 lifting minya mencapai 660 ribu bph, dan lifting gas 995 ribu barel setara minyak per hari. 

Kondisi ini memerlukan terobosan kebijakan dan regulasi yang mendukung agar sektor migas tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Berdasarkan data Kementerian Keuangan pada 2023, sektor hulu migas menyumbang lebih dari Rp150 triliun terhadap penerimaan negara. Dampak ekonomi sektor ini juga terlihat dari efek ganda terhadap sektor lain, seperti jasa, logistik, dan manufaktur.

"Kita tidak hanya berbicara soal penerimaan langsung, tetapi juga bagaimana sektor ini menjadi katalis pertumbuhan ekonomi," kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, Selasa (26/11/2024) malam. 

Menurut Komaidi, dalam beberapa tahun terakhir lifting minyak bumi cenderung menurut, dan bahkan realisasinya di bawah target yang ditetapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut dia, salah satu penyebab utama turunnya produksi minyak adalah karena cadangan yang terus menyusut.

Berdasarkan data Kementerian ESDM Februari 2024, cadangan minyak hanya tersisa 4,7 miliar barel, sedangkan cadangan gas berada di angka 55,76 triliun kaki kubik (TCF). Sementara itu, 60 persen wilayah kerja migas tergolong lapangan tua, yang membutuhkan teknologi mahal untuk mempertahankan produksi.

"Tanpa insentif signifikan, eksplorasi baru tidak akan menarik bagi investor," ujar Komaidi.

Regulasi yang tidak fleksibel turut menambah beban sektor hulu migas. PP No 35 Tahun 2017 tentang skema kontrak gross split dianggap terlalu kaku untuk kondisi lapangan marjinal. Pasal 17 dan 31 tidak memberikan cukup fleksibilitas dalam penyesuaian bagi hasil, terutama untuk lapangan dengan risiko tinggi. 

"Mekanisme pengawasan fasilitas perpajakan yang diatur dalam PP No. 27 Tahun 2017 juga memerlukan penyederhanaan," katanya.

Dalam catatan Reforminer, kebutuhan devisa impor migas terus meningkat, mencapai Rp380,4 triliun pada 2023, jauh melampaui rata-rata Rp290 triliun selama 2015-2022. Proyeksi RUEN bahkan memperkirakan angka ini melonjak hingga Rp1.391 triliun pada 2030 jika eksplorasi baru tidak segera dimulai.

"Ketergantungan impor tidak hanya membebani devisa negara, tetapi juga menurunkan daya saing kita secara global," ujar Komaidi.

Halaman : 1 2

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |