Fenomena kesepian ini dapat dirunut secara psikologis. Salah satu faktor utamanya adalah lingkup sosial yang kian sempit.
Sederet Alasan Mengapa Pemimpin Merasa Kesepian di Puncak, Ini Risikonya Jadi Bos. (foto: Freepik)
IDXChannel—Mengapa pemimpin merasa kesepian di puncak? Seorang pemimpun organisasi atau perusahaan, rupanya rentan merasa kesepian setelah menduduki jabatan tinggi di tempat kerjanya.
Boleh dibilang, semakin tinggi jabatan maka semakin besar risiko seorang pemimpin merasakan kesepian. Fenomena kesepian ini dapat dirunut secara psikologis. Salah satu faktor utamanya adalah lingkup sosial yang kian sempit.
Faktor itu dikemukakan oleh Executive Director Europe for SFAI Global Paula Vidal Castelli. Global SFAI jaringan internasional yang memberikan layanan konsultasi dan penasihat. Sementara Castelli sendiri kerap memberi pembinaan kepada pimpinan-pimpinan internasional.
Dalam tulisannya pada artikel Forbes (22/11), Castelli mengatakan kesepian adalah hal yang lumrah ia temui di kalangan para pimpinan. Terutama ketika para pimpinan ini harus mengadapi situasi yang kompleks, baik dalam ranah pribadi maupun profesional.
Mengapa Pemimpin Merasa Kesepian di Puncak, Tantangan Psikis Seorang Pimpinan
“Beban yang mereka emban saat mereka memahami bahwa keputusan yang diambil dapat memiliki konsekuensi yang panjang, bisa membawa mereka pada perasaan terisolasi dan kesepian,” tutur Castelli.
Para pimpinan ini menghadapi proses pengambilan keputusan seorang sendiri, seringkali tanpa arahan maupun dukungan dari siapa pun, dan jika keputusannya kontroversial, mereka mengkhawatirkan respon negatif maupun kritik dari orang lain.
Tekanan-tekanan besar ini pada akhirnya berdampak pada kehidupan personal mereka, terkadang mereka sendiri pun kesulitan untuk menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dengan kebutuhan keluarga.
Oleh sebab itu, sangat mungkin seorang pimpinan terisolasi dari keluarganya sendiri di rumah. Castelli mengatakan dia sering mendengar dari para pimpinan ini, bahwa ketika mereka berada di puncak jabatan, mereka justru merasa berjarak dari teman-teman dan kolega lamanya.
Jabatan tinggi yang diemban seorang pemimpin rupanya mempersempit lingkaran pergaulannya (social circle). Sebab ada dinamika sosial dan kekuasaan yang kelewat tidak nyambung, yang pada akhirnya membuat mereka sulit membina hubungan berbasis rasa percaya.
Banyak juga di antara mereka yang merasa tidak bisa curhat kepada teman-temannya tentang kehidupan personal maupun profesionalnya. Faktor yang diungkapkan Castelli selaras dengan yang disampikan dalam Harvard Business.
Dalam artikel yang bertajuk ‘New to Leadership? Here’s How to Adress Loneliness’ yang ditulis oleh Abbey Lewis, disebutkan bahwa salah satu hal mengejutkan yang dihadapi manajer yang baru saja menerima promosi adalah perubahan lingkar pertemanan.
“Ajakan kasual semacam ‘Hai, mau makan bareng?’ mungkin terasa ambigu untuk disampaikan, karena tidak jelas apakah cara bersosialisasi seperti itu pantas?” kata Lewis.
Ini artinya terjadi perubahan dinamika sosial, seiring dengan perubahan dinamika kekuasaan. Saat salah satu rekan dalam tim naik jabatan, tentu rekannya yang lain setidaknya pernah bingung atau canggung tentang cara berkomunikasi yang pantas.
Dengan perubahan jabatan ini juga, otomatis lingkar pertemanan dan lingkar sosialisasi para pemimpin pun mengecil. Saat masih berada di level karyawan, mereka bisa memiliki banyak teman dari beragam departemen, bahkan teman di luar kantor.
Namun ketika dia naik jabatan, dia otomatis meninggalkan kolega seperjuangannya secara hierarki. Secara bersamaan, dengan tanggung jawab baru dan ranah kewenangan yang baru, dia tidak bisa sembarangan berbagi keluh kesah dengan orang lain di luar kantor.
Apalagi, jika dia menjadi pimpinan di perusahaan yang sama dengan teman-teman seperjuangannya, pimpinan-pimpinan baru ini harus menjaga profesionalitas. Sehingga mereka menjaga jarak dengan kolega lama, dan pada akhirnya memutus secara dua arah.
Dari sisi kolega lamanya, mereka tidak memahami tuntutan baru yang dibebankan kepada rekannya yang dipromosikan. Sementara bagi si pemimpin baru, dia tidak ingin terlihat subjektif terhadap rekan lamanya.
Pada pimpinan-pimpinan yang merintis usahanya sendiri dari nol pun, fenomena ini sangat mungkin terjadi. Para perintis ini memperjuangkan bisnisnya sejak awal, melihat proses pendirian dan perintisan seorang diri, sementara karyawan silih berganti.
Sehingga ketika perusahaannya berkembang pesat dan kini posisinya berada di puncak, segala perasaan dialaminya seorang diri. Rasa kecewa karena upayanya gagal, penjualan anjlok, dirasakannya seorang diri.
Rasa lelah mengupayakan usahanya bertahan pun diembannya seorang diri. Termasuk rasa puas ketika perusahaannya berhasil sukses. Sebab karyawan lain tidak mengikuti perjuangan dari awal. Apalagi, ini adalah perusahaan yang dimilikinya.
Tentu akan ada tingkat kedalaman sense of belonging, atau rasa memiliki, yang berbeda dengan karyawan-karyawan lain yang baru bergabung di tengah perjalanan atau saat belakangan.
Itulah beberapa alasan mengapa pemimpin merasa kesepian di puncak jabatannya.
(Nadya Kurnia)