Jakarta - Pertumbuhan ekonomi RI turun jadi 4,87% di Q1 2025. INDEF beri 8 catatan kritis dan desak pemerintah perkuat respons kebijakan ekonomi.
Pertama, Indonesia rentan terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi global. International Monetary Fund (IMF) mencatat perlambatan ekonomi global ke 2,8% dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,3% untuk tahun 2025 yang menandai fase stagnasi dunia usai dilanda krisis. Andhika Prasetia/detikcom
Kedua, Waspadai 'dual shocks' yang menggerus neraca perdagangan akibat volatilitas harga komoditas. INDEF menilai, implikasi volatilitas harga komoditas menciptakan risiko ekonomi domestik dual shocks' bagi Indonesia. Ari Saputra/detikcom
Ketiga, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2025 berada di bawah ancaman stagnasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi 4,87% yoy menjadi alarm keras 'early warning', di mana narasi optimisme pemerintah tidak lagi berakar pada realitas. INDEF menegaskan, pelemahan tidak hanya terjadi akibat akibat dinamika global, tetapi lebih pada terjadinya kegagalan domestik melakukan transformasi struktural. Eva/detikcom
Keempat, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 dari sisi permintaan investasi dan konsumsi mengalami kolaps, di mana belanja pemerintah malfungsi. INDEF menyebut, investasi yang stagnan dan konsumsi rumah tangga yang melemah mencerminkan daya dorong utama pertumbuhan lumpuh. Ironisnya, konsumsi pemerintah yang seharusnya menjadi jangkar pertumbuhan justru dikontraksi oleh efisiensi anggaran sebesar Rp 300 triliun. Eva S/detikcom
Kelima, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 (yoy) dari sisi penawaran hilirisasi hanya jadi simulasi, industri kehilangan nafas. Pertumbuhan tinggi sektor pertanian yang berbasis musiman hanya menutupi stagnasi mendalam yang terjadi di sektor manufaktur dan pertambangan yang menjadi pilar hilirisasi. Pradita Utama/detikcom
Keenam, rezim suku bunga tinggi dan kebijakan efisiensi anggaran membuat likuiditas perekonomian mengering. INDEF menilai, suku bunga Bank Indonesia (BI Rate), suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan yield Surat Berharga Negara (SBN) naik mendorong migrasi likuiditas perekonomian mengarah pada aset-aset dengan imbal hasil tinggi. Andhika Prasetia/detikcom
Ketujuh, dunia usaha lesu seiring pertumbuhan kredit yang layu. Dalam catatan INDEF, laju kredit Maret 2025 menurun ke 8,7% dari 9,7% pada bulan Februari 2025. Padahal pada Maret 2025 ditopang oleh Ramadhan dan Lebaran. Lesunya capaian kredit mencerminkan melemahnya dukungan sektor keuangan bagi peningkatan aktivitas sektor riil yang ujungnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Andhika Prasetia/detikcom
Terakhir, urgensi kombinasi kebijakan optimalisasi potensi domestik, stimulus fiskal tepat sasaran, dan dukungan ekosistem industri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Andhika Prasetia/detikcom