Jakarta -
Menteri Perdagangan Budi Santoso membeberkan dampak kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) ke Indonesia. Dampak itu mulai dari harga bahan baku produksi yang naik hingga lonjakan impor.
Budi mengatakan dampak tarif tersebut dapat langsung menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar AS. Hal ini akan berakibat turunnya ekspor dan menggerus surplus neraca perdagangan yang selama ini menguntungkan Indonesia.
AS merupakan mitra dagang Indonesia terbesar setelah China. Total perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat tahun 2024 tercatat sebesar US$ 38,3 miliar atau naik 11,01% dibanding tahun 2023. Adapun ekspor Indonesia ke AS tumbuh rata-rata 6,05% per tahun selama kurun waktu tahun 2020-2024. Pada tahun 2024 ekspor Indonesia tercatat US$ 26,3 miliar atau tumbuh 13,36% dari tahun 2023.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi neraca perdagangan, Indonesia mencatatkan surplus terhadap Amerika Serikat selama 5 tahun terakhir. Pada tahun 2024 surplus perdagangan Indonesia terhadap AS tercatat sebesar US$ 14,3 miliar atau nomor 2 setelah India. Pada Maret 2025, perdagangan dengan AS masih mencatatkan surplus tertinggi sebesar US$ 1,98 miliar.
"Selain itu dengan perang dagang ini secara umum akan menaikkan harga barang bahan baku produksi, sehingga berpotensi menurunkan daya saing dan produktivitas industri dalam negeri," kata Budi saat Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (20/5/2025).
Tidak hanya itu, Budi menerangkan Indonesia berpotensi terjadi lonjakan impor dari negara-negara yang terkena kebijakan tarif Amerika Serikat dan meningkatnya praktik dumping. Hal ini tentunya dapat merugikan pelaku usaha dalam negeri.
Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan perundingan dengan AS. Perundingan ini ditargetkan selesai dalam 60 hari sebelum diberakukan tarif resiprokal.
Adapun subtansi utama yang dirundingkan atau yang akan dirundingkan mencakup sejumlah isu kebijakan Indonesia. Di antaranya, perizinan impor, standar kesehatan dan keamanan pangan, hambatan teknis perdagangan, persyaratan halal, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), serta perlindungan hak kekayaan intelektual.
"Kami memandang bahwa perundingan ini memiliki dampak strategis terhadap kepentingan nasional. Oleh karena itu, setiap proses dan subtansi yang dibahas akan dilakukan secara cermat, mengutamakan kepentingan nasional dan melalui koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait," imbuh Budi.
Dalam menghadapi kebijakan tarif Amerika Serikat, pihaknya telah menyusun sejumlah langkah strategis yang dirancang secara terukur. Pertama, diplomasi dan perundingan dengan Pemerintah Amerika Serikat untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Kedua, pemerintah juga berusaha melakukan penataan kebijakan perdagangan untuk meningkatkan kemudahan berusaha. Ketiga, mengamankan pasar dalam negeri dan menjaga keberlanjutan industri nasional dari potensi lonjakan impor serta praktik dagang curang dengan menggunakan mekanisme tindakan perbaikan perdagangan (trade remedies) dan SIPGAT (Sistem Informasi Perlindungan dan Ganti Rugi atas Perdagangan), serta anti-dumping.
"Kami juga terus mendorong penguatan daya saing pelaku usaha nasional, khususnya UMKM yang berbasis ekspor dengan program UMKM Bisa Ekspor," jelas Budi.
(acd/acd)