sedikitnya 30 pabrik tekstil juga dilaporkan telah gulung tikar, sehingga membuat lebih dari 11.000 pekerja kehilangan mata pencahariannya.
Bisnis Tekstil dalam Tekanan, Industri Petrokimia Turut Terancam (foto: MNC media)
IDXChannel - Tekanan yang dirasakan di industri manufaktur, terutama sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), diyakini bakal membawa dampak lanjutan (domino's effect) ke sektor-sektor bisnis yang lain.
Hal ini tak lepas dari tren meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), di mana pada semester I/2024 saja, tercatat 32.064 pekerja secara nasional telah dirumahkan. Jumlah tersebut naik 21,45 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Tak hanya itu, sedikitnya 30 pabrik tekstil juga dilaporkan telah gulung tikar, sehingga membuat lebih dari 11.000 pekerja kehilangan mata pencahariannya.
"Pelemahan (di sektor TPT) ini tentu akan berdampak pada penurunan permintaan bahan baku aromatik untuk industri tekstil, sehingga industri petrokimia juga pasti bakal terkena imbasnya," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiyono, dalam keterangan resminya.
Kondisi ini, menurut Fajar, sudah pasti bakal terjadi lantaran selama ini industri petrokimia memiliki peran penting dalam mendukung kinerja produksi berbagai sektor, mulai dari plastik, tekstil, karet sintetis, kosmetik, bahan pembersih hingga farmasi.
"Apalagi untuk turunan (produk) aromatik, saat ini lebih banyak diserapnya ke industri tekstil," ujar Fajar.
Fajar menjelaskan, saat ini industri petrokimia diperkirakan tengah menghadapi penurunan tingkat utilisasi pabrik hingga 50 persen. Tak hanya itu, potensi investasi senilai Rp437 triliun di sektor petrokimia juga terancam mandek akibat kekacauan yang terjadi di pasar domestik.
"Hal ini tentu juga menjadi tantangan bagi pemulihan ekonomi nasional secara keseluruhan, yang oleh Bapak Presiden (Prabowo) diharapkan bisa tumbuh sampai delapan persen," ujar Fajar.
Selain penetrasi barang impor, industri hulu petrokimia juga disebut Fajar masih gamang untuk merealisasikan investasi, seiring dengan kebijakan pemerintah yang justru memperlihatkan ketidakpastian.
Terdapat kebijakan yang diharapkan mampu menopang kinerja, antara lain insentif harga gas bumi hingga kepastian insentif fiskal berupa tax holiday, sejauh ini justru belum juga disahkan secara resmi.
"Kondisi penurunan dan ketidakpastian petrokimia diperparah dengan penurunan yang terjadi di industri tekstil, sebagai penyerap produk hulu. Utilisasi industri tekstil saat ini sudah berada di bawah level 50 persen, bahkan sudah banyak juga yang menutup pabriknya," ujar Fajar.
Kondisi ini terkonfirmasi dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPN) atas tekstil pada 2023 dan 2024 yang mengalami sedikit penurunan secara value rupiah yang diterima pemerintah.
Di sisi lain, Sekjen Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo), Henry Chevaller, juga turut meminta pemerintah agar dapat memberikan kebebasan pajak bagi industri hulu petrokimia, sehingga harga bahan baku yang diproduksi hilir dapat lebih terjangkau.
"Berikan free tax untuk industri petrokimia agar kami bisa menyerap bahan baku yang murah dan menciptakan produk jadi plastik yang murah sehingga mampu bersaing dengan produk jadi yang masuk Indonesia," ujar Henry.
Pada kesempatan yang sama, Ahli Madya Bidang Hilirisasi Minyak dan Gas Bumi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Ikhsan Adhi Prabowo, mengakui bahwa peran penting industri petrokimia sangat layak untuk diselamatkan.
Ikhsan pun berharap agar segenap kebijakan yang ada, bisa merangsang kehadiran investasi baru petrokimia.
"Petrokimia merupakan salah satu ibu industri, karena produknya menjadi bahan baku industri lain. Potensinya masih terbuka lebar, harus dimanfaatkan," ujar Ikhsan.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Wiwik Pudjiastuti, juga menyampaikan bahwa pemerintah terus mengupayakan strategi agar situasi industri petrokimia bisa lebih kondusif.
Untuk memantau produk impor, misalnya, pemerintah juga masih tengah mematangkan instrumen neraca komoditas.
"Kalau dengan neraca komoditas kita bisa melihat pasti selalu by data supply dan demand, kalau supply-nya rendah, demand-nya lebih rendah berarti masih ada potensi untuk impor," ujar Wiwik.
Sistem tersebut, dikatakan Wiwik, diperlukan lantaran produk petrokimia dan turunannya masih didominasi produk impor. Padahal, industri petrokimia dalam negeri tengah berjuang memperkuat rantai pasok produksi.
Dalam catatan Kemenperin, produk petrokimia nasional meliputi olefin memiliki kapasitas produksi mencapai 9,72 juta ton, sementara produk aromatik 4,61 juta ton, dan produk C1 metanol dan turunannya sebesar 980.000 ton.
"Untuk penguatan struktur industri, yang perlu memang untuk penguatan salah satunya adalah melakukan integrasi industri hulu dan hilir," ujar Wiwik.
Terlebih, Wiwik melihat terdapat rencana proyek industri kimia dengan investasi mencapai USD34 miliar hingga 2030 mendatang. Terdekat, investasi dari PT Lotte Chemical Indonesia atau Lotte dan Petrokimia Gresik rencananya juga sudah dapat beroperasi pada 2025 mendatang.
"Harapannya tentu dengan beroperasinya Lotte tahun 2025 ini berarti sebagian kebutuhan petrokimia, khususnya polypropylene [PP] yang masih jauh supply dari demand-nya bisa mengisi permintaan lokal yang saat ini masih terpenuhi produk impor," ujar Wiwik.
Lebih lanjut, Wiwik juga menerangkan bahwa pemerintah sejauh ini telah berupaya untuk mengajukan usulan pembebasan bea masuk bahan baku petrokimia, khususnya LPG yang saat ini dikenakan biaya lima persen.
Di sisi lain, pihaknya juga tengah membuat peta jalan industri kimia dasar dengan melakukan pendalaman dan menyusun pohon industri berbasis minyak bumi, gas dan batu bara.
Tak hanya itu, untuk memberikan kemudahan bagi industri kimia, pemerintah telah memberikan insentif fiskal berupa kemudahan tax holiday, tax allowance, maupun mini tax holiday, sekaligus perpanjangan masa pengkreditan PPN.
Sejalan dengan Kemenperin, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Susila Brata, turut menuturkan bahwa pihaknya telah menerapkan beragam peraturan untuk menjaga industri di Indonesia termasuk industri petrokimia hulu dan hilir. Susila menyebutkan bahwa pemerintah telah menetapkan trade remedies untuk saat ini.
"Trade remedies merupakan instrument yang dapat dipergunakan oleh negara anggota WTO untuk mengendalikan Importasi barang dalam rangka melindungi produsen domestik dari dampak negatif perdagangan bebas," ujar Susila.
(taufan sukma)