Jakarta -
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mencabut status bebas pajak Harvard setelah universitas tertua di Negeri Paman Sam itu secara terbuka menolak tuntutan pemerintahannya terkait penanganan aktivitas demonstrasi pro-Palestina.
Ancaman itu muncul beberapa jam setelah pemerintahan Trump membekukan US$ 2,3 miliar atau Rp 38,64 triliun (kurs Rp 16.803) dana hibah federal untuk Harvard. Selain itu dirinya juga menuntut permintaan maaf atas penolakan yang sempat mereka lakukan.
Melansir Reuters, Rabu (16/4/2025), sebelumnya pemerintahan Trump telah menegur ratusan universitas yang berada di AS atas penanganan terhadap gerakan protes mahasiswa pro-Palestina pada 2024 lalu imbas serangan Hamas di Israel dan serangan Israel berikutnya di Gaza.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trump menyebut gerakan protes tersebut adalah tindakan anti-Amerika dan antisemit, menuduh ratusan universitas tersebut turut menyebarkan Marxisme dan ideologi 'kiri radikal'. Dengan alasan inilah ia kemudian berjanji untuk mengakhiri hibah dan kontrak multi tahun federal kepada perguruan tinggi yang tidak menyetujui tuntutan pemerintahannya.
Terakhir, Trump mengatakan dalam sebuah unggahan di media sosial pada Selasa (15/4) kemarin bahwa saat ini dirinya sedang mempertimbangkan apakah akan mengakhiri status bebas pajak Harvard jika terus menolak tuntutan pemerintahannya dan mendorong pembelajaran yang bersifat 'politis, ideologis, dan mendukung teroris'.
Namun ia tidak mengatakan langkah apa yang akan dilakukan untuk menghapus status bebas pajak Harvard.
Di sisi lain, Sekretaris pers Gedung Putih Karoline Leavitt mengatakan Trump ingin Harvard meminta maaf atas apa yang disebutnya sebagai 'antisemitisme yang terjadi di kampus mereka terhadap mahasiswa Yahudi Amerika'.
Ia menuduh Harvard dan perguruan tinggi lain melanggar undang-undang 'Title VI of the Civil Rights Act' yang melarang diskriminasi oleh penerima dana federal berdasarkan ras atau asal negara.
Berdasarkan aturan itu, dana federal dapat dihentikan hanya setelah penyelidikan dan sidang yang panjang serta pemberitahuan 30 hari kepada Kongres.
Menanggapi berbagai tekanan ini, sejumlah profesor dan mahasiswa mengatakan protes tersebut secara tidak adil disamakan dengan antisemitisme sebagai dalih untuk serangan inkonstitusional terhadap kebebasan akademis.
(igo/fdl)