Tangerang -
PetroChina International Jabung Ltd. memiliki inovasi baru dalam proses eksplorasi dan produksi minyak dan gas (migas) menggunakan Artificial Intelligence (AI). Penggunaan teknologi AI ini khususnya digunakan dalam proses driling atau pengeboran sumur migas.
Teknologi ini yang juga ditunjukan perusahaan dalam gelaran IPA Convex 2025. Dalam pantauan detikcom, banyak pengunjung yang tertarik melihat bagaimana teknologi AI driling yang dimiliki PetroChina.
Senior Drilling Engineering Superintendent PetroChina Weka Janitra Calosa menerangkan teknologi AI driling atau pengeboran sangat penting untuk mengurangi risiko dalam proses pengeboran migas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Proses pengeboran risikonya tinggi, namun dengan penggunaan teknologi AI, kita dibantu untuk lebih mengurangi risiko dan mengambil keputusan lebih cepat. AI bisa membantu memprediksi, jadi dia bisa informasikan ke lapangan dan ke head office kira-kira 3 jam lagi ini ada potensi pipa terjepit (stuck pipe). Karena sudah ada potensi krisis, petugas di lapangan itu harus melakukan sesuatu mencegah hal itu terjadi. Kita akan mengambil Keputusan berdasarkan data-data yang ada. Dengan dibantu AI, pengambilan keputusannya bisa lebih cepat" kata Weka ditemui detikcom, IPA Convex 2025, di ICE BSD, Tangerang, ditulis Minggu (25/5/2025).
Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) Migas itu juga menyebutkan, selain dapat mengantisipasi risiko, AI namun juga mempercepat proses driling itu sendiri. Weka mengatakan dengan AI, proses driling dapat berjalan lebih cepat 8% sampai 40%. "Kita dapat mempercepat sekitar 8%-40% kecepatan laju pengeboran (rate of penetration) dari pengeboran dibanding yang sebelumnya," tambahnya.
Dalam proses pengeboran, dengan AI, berbagai tantangan maupun juga dapat terdeteksi lebih awal dan akurat. Misalnya ketika dalam kondisi kedalaman yang cukup berat atau di medan yang keras, maka dengan AI driling dapat dideteksi berapa parameter pengeboran yang harus digunakan, seperti berat tekan pada mata bor (weight on bit), laju alir lumpur (flow rate), dan kecepatan putaran pipa bor (rpm).
"Misalnya kita sekarang sedang mengebor formasi yang misalkan batu granit yang keras, berarti kita harus apply berat tekan yang lebih besar. Nah, ibaratnya lewat jalan tol, berarti boleh lebih cepat. Boleh lebih cepat, tapi flow rate-nya tidak usah terlalu tinggi. AI juga membantu kita mengatur strategi ini," terangnya.
Dengan berbagai kemudahan itu, PetroChina International Jabung sebagai perusahaan yang pertama berhasil menggunakan AI driling dapat melakukan penghematan biaya pengeboran.
Weka mengatakan biasanya biaya pengeboran satu sumur minyak dan gas dapat menghabiskan sekitar US$ 100.000 sampai US$ 150.000 per hari. Biaya itu belum termasuk jika terjadi permasalahan pengeboran seperti stuck pipe, di mana pipa bor terjepit saat pengeboran sehingga tidak dapat bergerak memutar atau diangkat kembali.
"Jadi, salah satu resiko kita itu stuck pipe, dimana kalau terjadi itu biayanya sekitar US$ 1,5- US$ 6 juta seperti harga sumurnya itu sendiri. Risiko yang dihilangkan itu tidak bisa dihitung dengan uang, jadi sebetulnya kita menggunakan AI untuk membantu manage, mengurangi risiko, dan ada tambahan, kita ngebornya jadi lebih cepat," terangnya.
Dengan menggunakan AI, biaya AI driling yang dihabiskan oleh PetroChina International Jabung hanya US$ 50.000 per sumur. "Tapi dibandingkan dengan biaya (pengeboran) sumur kita yang US$ 6 juta sampai US$ 7 juta, itu nggak ada apa apanya, ditambah lagi penghematan per sumurnya terhitung sekitar US$ 89 ribu" pungkasnya.
Sebelumnya, dalam panel diskusi IPA Convex 2025, salah satu strategi yang juga digunakan oleh PetroChina saat memproduksi migas yakni dengan inovasi teknologi. Presiden Direktur PetroChina Wang Lei mengatakan teknologi yang digunakan perusahaan Enhanced Oil Recovery (EOR).
"Seperti yang Anda ketahui, di Tiongkok, kami memiliki banyak wilayah minyak tua, besar, raksasa, yang sedang menurun. Jadi, PetroChina, menurut saya, kami adalah salah satu yang paling maju teknologinya dan paling berpengalaman dalam proyek EOR. Dan kami siap dan bersedia untuk berbagi dan menggunakan teknologi ini di Indonesia," kata Wang Lei, dalam Panel Diskusi di IPA Convex 2025, di ICE BSD, Tangerang, Selasa (20/5/2025).
Meski begitu, ia mengakui bahwa implementasi teknologi EOR sulit dan cukup mahal dan membutuhkan dukungan sumber daya yang besar. Namun, dengan teknologi itulah diyakini dapat memperpanjang umur sumur dan menaikkan produksi minyak dan gas.
"Implementasi EOR rumit dan padat modal, tetapi dapat memperpanjang umur dan tingkat perolehan secara signifikan," terangnya.
(ada/rrd)