Dari brand fashion yang didirikannya, Dama Kara, Dini berhasil mencatatkan penjualan hingga ribuan potong pakaian tiap bulan.
Kisah Seorang yang Kaya dari Jualan, Sebulan Bisa Jual Batik hingga 4.000 Potong. (Foto: YouTube/Naik Kelas)
IDXChannel—Nurdini Prishastiti adalah seseorang yang kaya dari jualan pakaian. Dari brand fashion yang didirikannya, Dama Kara, Dini berhasil mencatatkan penjualan hingga ribuan potong pakaian tiap bulan.
Namun demikian, Dini yakin keberhasilan Dama Kara tidak hanya karena kontribusinya seorang diri. Ada belasan karyawan yang turut mendukung keberlangsungan Damakara sejak perintisan hingga kini berhasil membuka outlet di Bandung.
Dari sinilah Dini membuat program umroh, di mana tiap tahun dia akan memberangkatkan satu karyawannya untuk ke tanah suci. Sebab dia yakin keberhasilan Dama Kara pun tak lepas dari kontribusi karyawan-karyawannya.
“Sampai saat ini sudah ada empat orang yang berangkat, kita berharap program ini terus ada. Selain umroh, ada program bareng dengan konsumen. Misalnya dari tiap penjualan suatu produk, sebagian kami sisihkan untuk ibu-ibu selama pandemi,” katanya dalam kanal YouTube Naik Kelas.
Sebelum akhirnya mendirikan Dama Kara, Dini dan sang suami sebenarnya telah memiliki usaha bernama Indogarment, yakni usaha pembuatan pakaian by order. Usaha ini biasanya menerima pesanan pembuatan seragam dari perusahaan-perusahaan.
Pada 2019 ada pengiriman barang yang gagal karena kapal yang membawa paketnya terbakar habis. Kerugian yang mesti ditanggungnya saat itu mencapai Rp500 juta. Namun Dini mengaku, musibah itu justru menjadi titik balik dari perjalanan bisnisnya.
Kisah Seorang yang Kaya dari Jualan, Awal Mula Pendirian Dama Kara
Dama Kara dimulai sebelum sebaran covid-19 masih terbatas dan belum ditetapkan sebagai pandemi oleh pemerintah. Brand ini diluncurkannya pada Januari 2020, dan setelah itu secara bersamaan banyak pesanan Indogarment harus ditahan karena penetapan pandemi.
“Bisnis yang kita punya ternyata punya titipan. Dari sini akhirnya kami berpikir, kan sudah ada penjahit, kenapa kita tidak buat brand baju saja, ya?” tutur Dini.
Seorang yang Kaya dari Jualan, Awal Mula Pendirian Damakara
Dama Kara mengusung batik cap sebagai tema produknya. Namun pola batik yang dibuat lebih sederhana dibanding pola batik-batik tulis pada umumnya. Ini berangkat dari pangsa penggemar batik di Indonesia yang sebenarnya tinggi.
Namun batik umumnya hanya dipakai untuk acara-acara formal saja. Sehingga, Dini ingin memperkenalkan produk batik yang dapat dipakai untuk keseharian, yang bisa dipakai untuk nongkrong, bekerja ke kantor, dan sebagainya.
“Dari sebagian penjualan batik ini, kami salurkan untuk mendukung biaya terapi menggambar teman-teman berkebutuhan khusus,” lanjut Dini.
Insting bisnis dalam diri Dini telah muncul sejak kecil. Kedua orang tuanya memang PNS, tapi memiliki usaha sampingan penggemukan sapi, dari sinilah Dini terinspirasi untuk ikut berjualan. Sejak SD Dini sudah mulai jualan kecil-kecilan.
Jualan kecil-kecilan ini berlanjut hingga SMP, SMA, hingga kuliah. Sampai akhirnya Dini terbiasa dengan proses bisnis dan mengembangkan bisnisnya sendiri. Baru dengan Indogarment dan Dama Kara-lah Dini mulai serius menggarap bisnis.
Dulu saat Dama Kara diluncurkan, brand ini hanya dikenal oleh teman-temannya saja. Dalam sebulan pun Dini hanya menjual puluhan potong pakaian. Namun perlahan-lahan brand ini mulai dikenal konsumen secara luas.
Penjualan yang mulanya hanya puluhan, berkembang menjadi ratusan potong per bulan, lalu menjadi ribuan potong per bulan. Damakara berkembang secara organik, karena modal awalnya hanya Rp15 juta yang kemudian digulung terus menjadi modal kerja.
Dama Kara memanfaatkan beragam kanal penjualan online. Dua tahun saat pandemi, Dama Kara menggeluti bisnis penjualan secara online. Setelah pandemi mereda, Dama Kara mulai merambah ke outlet offline.
Dini mengikuti DSC atau Diplomat Success Challenge, event ini digelar oleh lembaga yang dikelola oleh PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM), dan memenangkan dana hibah senilai Rp200 juta lebih.
Dana ini dia gunakan untuk mengembangkan bisnisnya ke ranah offline. Dari event ini juga Dini mengikuti pembekalan, coaching, dan berkenalan dengan pengusaha-pengusaha kecil lainnya yang kemudian diajaknya untuk berkolaborasi.
“Saat ditanya kenapa Dama Kara bisa secepat ini, saya juga bingung. Tapi sepertinya karena saya dan tim menjalani ini dengan happy, tidak ada tekanan harus bisa dapat profit sekian dalam setahun,” lanjut Dama Kara.
Alih-alih menekankan target profit ke karyawannya, Dini justru menekankan bahwa Dama Kara harus lebih baik dari kemarin. Baik dari segi kualitas maupun pelayanan. Selama empat tahun, inilah yang konsistensi yang diambilnya.
Dama Kara kini memiliki tim tetap sebanyak 15 orang, beberapa karyawan harian dan part-time. Produksi per bulan mencapai 6.000–9.000 potong, sementara penjualan mencapai 4.000–6.000 potong.
Pakaian batik yang dijual Dama Kara dibanderol sekitar Rp200.000 sampai dengan Rp300.000 lebih. Jika dalam mengambil harga rata-rata terendah Rp200.000, dengan penjualan 4.000 potong per bulan, Dama Kara bisa mencatatkan omzet Rp800 juta.
Itulah kisah seorang yang kaya dari jualan batik cap.
(Nadya Kurnia)