Harga minyak turun 2 persen pada Senin (7/4/2025), mencapai level terendah dalam hampir empat tahun.
Harga Minyak Anjlok 2 Persen ke Level Terendah 4 Tahun di Tengah Ketakutan Resesi. (Foto: Freepik)
IDXChannel - Harga minyak turun 2 persen pada Senin (7/4/2025), mencapai level terendah dalam hampir empat tahun.
Penurunan ini dipicu kekhawatiran bahwa tarif perdagangan terbaru dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dapat mendorong ekonomi global ke dalam resesi dan menekan permintaan energi.
Minyak Brent jatuh 2,57 persen, menetap di USD64,36 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) merosot 2,47 persen ke USD60,82 per barel.
Kedua acuan minyak tersebut, yang melemah sekitar 11 persen pekan lalu, kini mencatatkan harga penutupan terendah sejak April 2021.
Perdagangan berlangsung sangat fluktuatif. Harga sempat turun lebih dari USD3 per barel pada malam hari sebelum naik lebih dari USD1 pada Senin pagi setelah laporan media menyebut Trump sedang mempertimbangkan jeda tarif selama 90 hari.
Namun, pejabat Gedung Putih dengan cepat membantah laporan tersebut, membuat harga minyak kembali melemah.
Kekhawatiran investor semakin terkonfirmasi setelah China—ekonomi terbesar kedua dunia—pada Jumat mengumumkan tarif balasan sebesar 34 persen terhadap barang-barang AS sebagai respons terhadap kebijakan terbaru Trump.
Trump membalas dengan ancaman tarif tambahan 50 persen terhadap China jika Beijing tidak menarik tarif balasannya. Ia juga menegaskan, seluruh pembicaraan dengan China terkait permintaan pertemuan mereka dengan AS akan dihentikan.
Di Eropa, Komisi Uni Eropa mengusulkan tarif balasan sebesar 25 persen terhadap berbagai produk AS sebagai respons atas tarif baja dan aluminium yang diberlakukan Trump, menurut dokumen yang diperoleh Reuters.
Goldman Sachs memperkirakan peluang resesi di AS dalam 12 bulan ke depan sebesar 45 persen dan memangkas proyeksi harga minyaknya.
Citi dan Morgan Stanley juga menurunkan perkiraan harga Brent. Sementara itu, JPMorgan memperkirakan peluang resesi global dan AS mencapai 60 persen.
Selain risiko resesi yang meningkat, ada pula kekhawatiran bahwa kebijakan Trump akan memicu kenaikan harga barang.
Gubernur Federal Reserve (The Fed) AS Adriana Kugler mengatakan bahwa sebagian kenaikan inflasi barang dan jasa baru-baru ini mungkin merupakan "antisipasi" terhadap dampak kebijakan pemerintah. Ia menegaskan, mengendalikan inflasi adalah prioritas utama bagi The Fed.
Bank sentral seperti The Fed biasanya menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi. Namun, suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya pinjaman bagi konsumen dan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi serta permintaan minyak.
Respons Produsen
Arab Saudi pada Minggu mengumumkan pemangkasan tajam harga minyak untuk pembeli Asia, menurunkan harga Mei ke level terendah dalam empat bulan.
"Ini menunjukkan keyakinan bahwa tarif perdagangan akan menekan permintaan minyak," kata analis PVM, Tamas Varga.
"Saudi, seperti banyak pihak lainnya, melihat keseimbangan pasokan dan permintaan bakal terdampak, sehingga mereka terpaksa menurunkan harga jual resmi mereka."
Tekanan harga semakin besar setelah OPEC+—yang mencakup Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya—mempercepat rencana peningkatan produksi.
Kelompok ini kini berencana mengembalikan 411.000 barel per hari ke pasar pada Mei, lebih tinggi dari rencana sebelumnya sebesar 135.000 barel per hari. (Aldo Fernando)