Pengusaha Sebut Relaksasi Aturan Tembakau Bikin Pendapatan Terganggu

18 hours ago 11

Jakarta -

Sejumlah pihak menggaungkan permintaan pembatalan atas pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, aturan turunan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Sebab, aturan tersebut dinilai berpotensi menghantam industri tembakau dari berbagai sisi, hingga mempengaruhi pendapatan negara.

Kalangan industri tembakau, khususnya produsen rokok legal, ikut mendesak agar pasal-pasal yang dinilai terlalu represif terhadap keberlangsungan industri ini segera dicabut. Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar, menyoroti isi pasal tembakau dalam PP 28/2024 tersebut.

Beberapa poin yang dianggap sangat merugikan industri tembakau di antaranya larangan penjualan dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, larangan pemajangan iklan produk tembakau di luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), aturan turunan PP 28/2024.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kebijakan ini dapat memperparah maraknya peredaran rokok ilegal yang hingga saat ini masih belum bisa ditangani dengan tuntas oleh pemerintah," kata Sulami, dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (11/5/2025).

Ia juga menilai, regulasi ini menciptakan ketimpangan antara industri legal dan ilegal. Di tengah tekanan yang datang bertubi-tubi, mulai dari kenaikan tarif cukai, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), hingga harga-harga yang terus naik, industri rokok legal merasa semakin tidak dilindungi oleh negara.

"Kami akan berjuang supaya regulasi ini tidak diterapkan," tegasnya.

Pengaruh ke Pekerja hingga Pendapatan Negara

Sementara itu, Kepala Kantor Bea dan Cukai Wilayah Jatim I, Untung Basuki, mengatakan industri hasil tembakau (IHT) di wilayahnya bukan hanya strategis dari sisi ekonomi, tetapi juga penting bagi penyerapan tenaga kerja dan stabilitas sosial masyarakat. Oleh karena itu, pembatalan pasal tembakau dalam PP 28/2024 dinilai perlu menjadi perhatian khusus.

"Industri hasil tembakau memiliki porsi yang sangat besar bagi Jawa Timur," ujar Untung.

Data menunjukkan, target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025 mencapai Rp 230,09 triliun dari total target penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 301,6 triliun. Dari jumlah tersebut, Jawa Timur ditargetkan menyumbang 60,18%, menjadikannya sebagai wilayah dengan kontribusi terbesar secara nasional.

Selain itu, Jawa Timur juga memiliki 977 perusahaan tembakau yang tersebar di hampir seluruh kabupaten dan kota. Menurut Untung, hal ini mencerminkan tingginya tingkat keterlibatan ekonomi daerah terhadap sektor pertembakauan nasional.

Selain berdampak pada penerimaan negara, keberadaan IHT juga berkaitan erat dengan sektor tenaga kerja, terutama bagi para pelinting sigaret kretek tangan (SKT). Sektor ini merupakan sektor padat karya dan menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pekerja perempuan di berbagai pabrik tembakau.

"Kalau bapak-Ibu lihat itu di pabrik-pabrik yang SKT begitu keluar kalau sore, itu sebagian besar pekerjanya adalah ibu-ibu semua, jumlahnya tidak lagi ratusan, tapi sudah ribuan," kata Untung.

Untung juga menyoroti pentingnya pendekatan terintegrasi dalam menyusun peta jalan (roadmap) industri hasil tembakau, yang mencakup aspek kesehatan, ekonomi, hingga penegakan hukum. Menurutnya, kebijakan yang terlalu menitikberatkan pada sisi kesehatan tanpa memperhatikan dampak ekonomi dan sosial akan menimbulkan ketimpangan.

Di sisi lain, Untung mendukung pengendalian konsumsi rokok ilegal yang merusak ekosistem usaha legal dan berimbas langsung pada penerimaan negara. Pemberantasan rokok ilegal dilakukan lewat patroli darat dan cyber crawling di platform daring.

Dalam konteks Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), Jawa Timur juga menjadi penerima terbesar, yakni Rp3,58 triliun dari total nasional Rp 6,39 triliun. Dari jumlah tersebut, 40% dialokasikan untuk kesehatan, 50% untuk kesejahteraan masyarakat, dan 10% untuk penegakan hukum.

Dengan kontribusi besar dari Jawa Timur terhadap keberlangsungan fiskal nasional, tuntutan pembatalan pasal-pasal terkait tembakau dalam PP 28/2024 bukan tanpa alasan. Pemerintah pusat diminta untuk mengkaji kembali regulasi tersebut secara komprehensif agar tidak menimbulkan disrupsi besar terhadap ekosistem industri tembakau nasional.

Simak juga video "Tantangan dan Peluang Industri Tembakau dalam Kebijakan Baru" di sini:

(kil/kil)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |