Pagar Laut Misterius 30,1 Km di Pesisir Tangerang Mulai Terungkap (Foto: KKP)
JAKARTA - Pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer (km) di perairan Tangerang, Banten mulai terungkap. Terbaru, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyegel pagar laut itu, Kamis 9 Januari 2025 karena pemagaran tersebut diduga tidak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
"Kalau tidak ada izin KKPRL, tidak boleh dilakukan, itu namanya pelanggaran," kata Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono di Karawang.
Hingga kini belum ada pihak yang mengeklaim memiliki dan membangun barisan bambu dengan tinggi sekitar enam meter dan sepanjang 30,16 kilometer tersebut.
Otoritas Banten dan pemerintah pusat mengaku tak mengeluarkan izin atas pemagaran laut itu, seraya mengeklaim tak tahu siapa pemilik pagar bambu tersebut.
1. Pagar Laut sejak Agustus 2024
Keberadaan pagar laut itu telah dilaporkan oleh masyarakat setempat sejak Agustus 2024 silam ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.
Investigasi telah dilakukan namun aktivitas tanpa izin itu terus berlangsung. Semula pagar itu hanya berdiri sepanjang 7 km, namun kini telah mencapai lebih dari 30 km.
Manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Dwi Sawung menduga pagar laut yang menyerupai labirin itu adalah kelanjutan dari reklamasi Jakarta yang masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).
Ombudsman pun turun tangan dengan melakukan investigasi, untuk menelusuri dugaan adanya maladministrasi dalam pembangunan pagar laut itu.
Dari pinggir pantai di Desa Karang Serang, Kecamatan Sukadiri, Kabupaten Tangerang, dapat terlihat jelas barisan bambu yang tersusun rapi di tengah laut. Bambu setinggi kira-kira enam meter itu berdiri tegak satu dengan lainnya, seakan tidak tergoyahkan ketika dihempas ombak.
Kemunculan pagar laut itu membuat resah beberapa warga pesisir di desa tersebut. Salah satu adalah Alia, 18 tahun, yang membuka usaha warung kopi untuk wisatawan di pinggir pantai.
Alia bercerita dia mendapatkan informasi bahwa pagar laut itu "menandakan bibir pantai hingga hampir ke tengah laut akan ditimbun dengan tanah".
Jika itu terjadi, Alia mengeluh bahwa warung kopinya akan sepi dari pembeli. "Walau tempat saya kerja enggak kena gusur, tapi kan jadi sepi pembelinya," kata Alia seperti dilansir BBC News Indonesia.
"Karena kalau udah diuruk, pembeli yang datang untuk melihat pantai juga akan pergi," ujarnya saat ditemui di kawasan Edu Wisata Karang Serang.
Alia mengatakan akan ada puluhan usaha yang mati jika proyek itu terjadi. "Saya berharapnya tidak ada pembangunan, seperti sebelumnya saja. Biar kami di sini juga dapat rezeki," ungkapnya.
Alia mengingat pembangunan pagar bambu itu telah berlangsung sejak enam bulan terakhir. Bahkan, Alia menambahkan, penancapan pagar bambu itu tidak diinformasikan ke warga sekitar.
"Enggak ada kabar pemasangannya. Yang saya dengar itu proyek pemerintah, jadi kita semua ini cuma bisa diam," ucap dia.
2. Keluhan Nelayan
Di lokasi yang tak jauh dari warung Alia, seorang nelayan dari Desa Karang Serang, Trisno, 45 tahun, menuturkan bahwa pemasangan pagar bambu itu dilakukan oleh beberapa orang dengan menggunakan kapal berukuran kecil. "Seperti kapal kecil, untuk pemasangan bambunya pakai manual, orang-orang di kapal yang menancap," kata Trisno.
Pemasangan pagar bambu itu, kata Trisno, dilakukan saat pagi hari. "Kalau lihat kapalnya itu dari Tanjung Kait. Patroli laut juga enggak kelihatan saat pemasangan. Kita pun takut kalau kena pagar itu, nanti kita diminta ganti, makanya kita selalu hati-hati banget lewat di sana," jelasnya.
Trisno menjelaskan, pagar laut dari bambu itu mengharuskannya memutar jauh saat mencari ikan di tengah laut. Selain itu, pagar itu juga menyebabkan nelayan di Kampung Bahari Karang kini sulit mendapat ikan kecil di pinggir laut.
"Jadi saat angin kencang kita takut ke tengah laut karena ombak besar, jadi kita mencarinya ke pinggiran dulu. Tapi sekarang enggak bisa karena ada pagar itu. Lewatnya saja susah, jadi kita untuk menebar jaring enggak bisa," tuturnya.
Trisno mengatakan, pagar laut itu menyebabkan pemasukannya turun. Selain itu, dirinya pun perlu menyiapkan bahan bakar lebih agar bisa melewati pagar yang membentang jauh itu. "Contohnya jika biasa isi solar lima liter, sekarang harus dilebihkan dua liter," katanya.
Dia pun berharap, jika pagar bambu tersebut segera dicabut. "Kita enggak tahu pemerintah mau bikin apa itu (pagar laut). Harapannya enggak ada kayak itu lagi (pagar laut), biar kita cari makannya seperti biasa lagi," katanya.
"Tapi kalau pemerintah mau bikin apa, ya bagaimana terserah saja. Orang kecil seperti kita enggak bisa apa-apa," ungkapnya.
Anggota Ombudsman Hery Susanto mengeklaim pagar bambu yang dipasang tanpa izin itu telah menghambat aktivitas masyarakat nelayan di sekitarnya dalam mencari nafkah.
Ombudsman bahkan menaksir kerugian yang dialami nelayan mencapai Rp8 miliar, gara-gara pagar bambu itu.
Selain itu, aktivitas penimbunan tambak dan aliran sungai mengganggu alur air dan merusak habitat laut.
Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, mengatakan pemagaran laut itu adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap hak nelayan dan masyarakat pesisir.
Johan menegaskan, jika pagar didirikan tanpa izin atau tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosial, maka tindakan ini berpotensi melanggar hukum dan pelakunya dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.