Menilik Harga Minyak di Tengah Gangguan Pasokan dan Stimulus China

4 days ago 3

arga minyak mentah dunia membukukan kenaikan tipis pada pekan lalu di tengah risiko gangguan pasokan hingga pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS).

 Freepik)

Menilik Harga Minyak di Tengah Gangguan Pasokan dan Stimulus China. (Foto: Freepik)

IDXChannel – Harga minyak mentah dunia membukukan kenaikan tipis pada pekan lalu di tengah risiko gangguan pasokan, pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) hingga stimulus China.

Harga minyak mentah Brent berjangka merosot 2,3 persen menjadi USD73,87 per barel, sementara WTI turun 2,7 persen ke USD70,38 per barel pada Jumat (8/11/2024).

Mengutip Trading Economics, Sabtu (9/11), penurunan ini didorong oleh meredanya kekhawatiran terkait gangguan pasokan yang berkepanjangan akibat Badai Rafael di Teluk Meksiko AS dan kekecewaan pasar terhadap langkah-langkah stimulus ekonomi China.

Prakiraan terbaru menunjukkan Badai Rafael tidak memberikan risiko besar terhadap produksi, sehingga mengurangi ketakutan yang sempat muncul setelah lebih dari 22 persen produksi minyak Teluk AS dihentikan sebagai langkah antisipasi.

Tren deflasi serta penurunan impor minyak yang terus berlanjut juga turut membebani sentimen pasar.

Sementara itu, ekspektasi sanksi AS yang lebih ketat terhadap Iran dan Venezuela memberikan sedikit dukungan bagi harga minyak.

Meski demikian, secara keseluruhan harga acuan minyak mencatat kenaikan sekitar 1 persen dalam pekan terakhir.

Secara teknikal, level support terdekat untuk futures Brent berada di rentang 73,45-73. Sedangkan, level resistance untuk Brent di kisaran 76-77.

Sementara, level support terdekat untuk futures WTI berada di 70-68,95, dengan resistance berada di 72-73.

China baru-baru ini mengumumkan langkah stimulus tambahan sebagai upaya untuk memulihkan ekonominya yang tertekan krisis utang di sektor properti, lemahnya konsumsi, dan meningkatnya pengangguran.

Financial Times melaporkan, negara tersebut akan mengucurkan dana sebesar USD1,4 triliun untuk membantu pemerintah daerah mengurangi beban utang, sehingga mereka dapat fokus pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Rencana stimulus ini menjadi yang terbesar sejak pandemi, dengan tujuan menopang perekonomian menjelang pelantikan Donald Trump sebagai presiden AS.

Trump sebelumnya berjanji akan memberlakukan tarif 60 persen untuk barang impor dari China, yang dapat mengancam sektor manufaktur utama negara tersebut.

“Tarif sebesar 60 persen akan sangat merugikan China yang selama ini mengandalkan sektor manufaktur dan ekspor untuk mengatasi masalah ekonominya,” ujar PVM Oil Associates, dikutip MT Newswires, Sabtu (9/11).

PVM Oil Associates menjelaskan, para ekonom memperkirakan hambatan besar semacam ini dapat mengurangi pertumbuhan PDB China hingga dua poin, dan membutuhkan stimulus besar-besaran hingga ratusan miliar dolar untuk mengimbanginya.

Impor minyak China mengalami penurunan untuk bulan keenam berturut-turut pada Oktober, menambah kekhawatiran permintaan di tengah peningkatan stok AS.

Di sisi lain, OPEC+ berencana mengembalikan pemotongan produksi sebesar 2,2 juta barel per hari mulai Januari, dengan penambahan 180.000 barel per hari setiap bulan selama setahun.

“Futures energi sedikit mendingin pasca pemilu karena pasar memperhitungkan kebijakan Trump yang pro industri minyak dan gas,” kata kata Kepala Analis di StoneX Alex Hodes, dikutip Dow Jones Newswires, Sabtu (9/11).

Selain itu, pasar juga memperhitungkan potensi tantangan bagi ekonomi China selama Trump melanjutkan rencananya memberlakukan tarif tinggi untuk barang-barang impor dari China. (Aldo Fernando)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |