Ekonomi RI Tumbuh 4,87%, Permata Bank Soroti Lemahnya Belanja-Investasi

7 hours ago 2

Jakarta -

Permata Bank melalui Permata Institute for Economic Research (PIER) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2025 tercatat sebesar 4,87% secara tahunan (year-on-year/YoY). Capaian ini menunjukkan perlambatan dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh sebesar 5,02% YoY.

Angka tersebut sekaligus menjadi pertumbuhan paling lambat yang pernah terjadi sejak kuartal III tahun 2021, mencerminkan adanya tekanan yang cukup besar terhadap aktivitas ekonomi domestik pada awal tahun ini.

Chief Economist PermataBank Josua Pardede menyampaikan bahwa meningkatnya ketidakpastian akibat perang dagang telah menyebabkan banyak perusahaan menangguhkan rencana investasi dan ekspansi bisnis. Untuk mengatasi kondisi tersebut, ia berharap pemerintah dapat mengambil langkah melalui kebijakan fiskal yang lebih ekspansif serta menyalurkan stimulus secara tepat sasaran, guna mendorong kembali aktivitas konsumsi dan investasi di dalam negeri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Terdapat kecenderungan masyarakat untuk menahan pengeluaran atau mengalihkan belanja mereka pada kebutuhan yang lebih mendesak, seperti kesehatan, pendidikan, dan pangan. Akibatnya, konsumsi masyarakat terhadap barang-barang tahan lama ikut ditekan, yang berdampak pada penurunan penjualan produk-produk tersebut. Salah satunya adalah turunnya angka penjualan kendaraan bermotor, khususnya mobil baru," tutur Josua dalam acara PIER Q1 2025 Economic Review di Jakarta, Rabu (14/5/2025).

Ia menjelaskan masyarakat menunjukkan kecenderungan melakukan down trading, yakni tetap berbelanja namun memilih produk sejenis dengan harga yang lebih terjangkau. Dalam konteks ini, penjualan mobil bekas justru mengalami peningkatan. Meskipun tren mobil listrik sedang berkembang pesat, sebagian besar konsumen lebih memilih untuk menahan pembelian dan beralih ke mobil bekas yang lebih ekonomis.

Lebih lanjut, momentum Lebaran dan Idul Fitri kali ini tidak mendorong belanja secara besar-besaran, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, pertumbuhan pendapatan yang cenderung stagnan membuat masyarakat lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok sebelum melakukan pengeluaran tambahan.

Josua menambahkan bahwa ketidakpastian global yang ditimbulkan oleh perang dagang turut menekan arus investasi dan tingkat konsumsi dalam negeri. Ia juga menyebut bahwa meskipun dampaknya bervariasi, konflik perdagangan tersebut berpotensi mempengaruhi pertumbuhan berbagai sektor.

Data menunjukkan, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,89% YoY, sedikit melambat akibat menurunnya daya beli pada sektor makanan, minuman, serta transportasi dan komunikasi. Di sisi lain, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya meningkat 2,12% YoY, karena lemahnya investasi pada bangunan dan mesin. Belanja pemerintah pun mengalami kontraksi sebesar 1,38% YoY, menyusul efek base effect dari belanja tinggi pada tahun pemilu sebelumnya.

"Namun, ekspor barang dan jasa meningkat, didorong oleh penguatan ekspor nonmigas. Secara sektoral, pertanian mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 10,52% YoY berkat lonjakan produksi padi dan jagung. Industri manufaktur tumbuh stabil 4,55% karena kuatnya permintaan ekspor logam dasar. Sektor perdagangan tumbuh 5,03% ditopang momentum Ramadan, sementara jasa juga menunjukkan ketahanan berkat peningkatan aktivitas pariwisata," jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa sektor-sektor berorientasi ekspor yang sangat bergantung pada pasar Amerika Serikat, seperti tekstil dan garmen, kulit dan alas kaki, elektronik, furniture, serta produk karet, kemungkinan besar akan terdampak cukup berat, yang pada akhirnya dapat menghambat laju pertumbuhan sektor-sektor tersebut pada tahun 2025. Namun sektor berbasis domestik seperti jasa dan perdagangan tetap dipandang sebagai penggerak utama pertumbuhan.

"Meningkatnya kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan yang tampak lesu dapat membuka ruang bagi pelonggaran moneter. Jika ketidakpastian global mereda dan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed menguat, maka Bank Indonesia dapat memangkas suku bunga acuan (Bl-Rate) hingga 50 basis poin sepanjang sisa tahun ini," pungkasnya.

(akn/ega)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |