Jakarta -
Efisiensi anggaran yang diterapkan Presiden Prabowo Subianto di awal tahun berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 melambat ke 4,87% (year on year).
Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar mengatakan efisiensi anggaran yang awalnya dimaksudkan untuk mengoptimalkan belanja negara justru menunjukkan efek berantai yang kontraproduktif. Pertumbuhan belanja pemerintah yang kontraksi sebesar -1,38% yoy turut melemahkan kinerja ekonomi.
"Kondisi di lapangan juga menunjukkan bahwa pemotongan belanja publik mengurangi denyut aktivitas ekonomi di banyak sektor, terutama di daerah," kata Wahyudi dalam keterangan tertulis, Selasa (6/5/2025).
Ketika anggaran transfer ke daerah turut ditekan, pilihan daerah untuk membiayai infrastruktur dan program sosial disebut menjadi sangat terbatas. Padahal selama ini APBD menjadi penopang penting penciptaan lapangan kerja dari infrastruktur desa dan perlindungan sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wahyudi juga menyoroti hasil efisiensi yang sebagian besar justru dialihkan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG). Padahal program baru tersebut dinilai belum menghasilkan nilai tambah ke ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
"Sementara itu banyak Balai Latihan Kerja (BLK) yang tidak berjalan karena tidak ada anggaran akibat efisiensi, pendamping desa juga banyak yang dirumahkan, padahal BLK dan pendamping desa adalah penggerak penciptaan lapangan kerja di sektor riil," ucap Wahyudi.
Terpisah, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf menyoroti efisiensi anggaran yang dilakukan saat daya beli masyarakat sedang ambruk. Hal ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melambat di bawah 5% dalam beberapa kuartal terakhir.
Terakhir kali pertumbuhan konsumsi rumah tangga di atas 5% terjadi pada kuartal III-2023 yakni sebesar 5,05%. Setelahnya yakni pada kuartal IV-2023 hanya tumbuh 4,47%, kuartal I-2024 tumbuh 4,91%, kuartal II-2024 tumbuh 4,93%, kuartal III-2024 tumbuh 4,91%, kuartal IV-2024 tumbuh 4,98% dan kuartal I-2025 tumbuh melambat ke 4,89%.
"Ini saya kira harus jadi perhatian karena tidak semua elemen di pemerintah percaya daya beli konsumen melemah. Padahal fakta-fakta sudah disodorkan oleh DEN dari mulai penurunan upah riil, juga kenaikan share dari defensive consumption spending," ucap Arief.
Utuk mengembalikan laju pertumbuhan ekonomi di level 5% pada sisa kuartal tahun ini, Arief menilai belanja pemerintah harus kembali digeliatkan. Terlebih sudah tidak ada faktor musiman yang mendorong konsumsi masyarakat seperti perayaan tahun baru hingga hari besar keagamaan seperti Ramadan dan Lebaran.
"Saya kira atensi kita segera harus ke membalikkan government consumption," tutur Arief.
Selain itu, pemerintah disebut harus segera menyelesaikan rancangan kebijakan deregulasi supaya investasi bisa tumbuh kencang. Sebab, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang menjadi komponen kedua terbesar penyumbang PDB pada kuartal I-2025 hanya tumbuh 2,12%, lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2024 yang tumbuh 5,03%.
"Mempercepat deregulasi supaya investasi bisa masuk dan tidak menutup kemungkinan kita usulkan stimulus untuk mengangkat konsumsi rumah tangga juga," saran Arief.
Kondisi ke Depan Bisa Lebih Mengkhawatirkan
Executive Director Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan ketidakpastian global yang semakin meningkat membuat kondisi ekonomi Indonesia ke depan lebih mengkhawatirkan. Mengingat kuartal I yang sudah alami pelemahan, padahal dampak dari gonjang-ganjing global baru akan dimulai.
"Ini sebelum gonjang-ganjing yang ada di tingkatan eksternal dan itu juga sudah ditopang dengan Ramadan serta Lebaran, tapi ternyata memang ada pelemahan. Jadi kelihatannya ke depan masih agak lebih mengkhawatirkan lagi," kata Yose dalam acara Innovation Summit Southeast Asia di The Energy Building SCBD, Jakarta Selatan, Selasa (6/5/2025).
Yose melihat ekspor Indonesia akan terpengaruh dengan kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Ekspor kita bukan hanya ke AS, tetapi dengan pelemahan yang ada di tingkatan global, itu harga-harga komoditas akan turun, padahal banyak pemasukan kita asalnya dari komoditas dan itu tentunya akan berpengaruh juga kepada ekspor kita yang akhirnya menurunkan lebih jauh lagi pertumbuhan ekonomi kita," ucap Yose.
Menurut Yose, pemerintah harus lebih bersiap diri menghadapi kondisi-kondisi yang semakin tidak menentu ke depan. Pasalnya permasalahan ke depan disebut akan lebih kompleks.
"Jadi ini belum ada apa-apanya nih kelihatannya, jadi memang perlu pegangan lebih erat lagi, lebih keras lagi. Permasalahannya dalam ekonomi kita internal sendiri itu tidak terlalu kelihatan menjanjikan. Kalau tahun 2008 atau 2012 ketika ada krisis itu, Indonesia kan bahkan sempat disebut komodo dragons economy karena kulitnya tebal, resilien, tetapi ternyata sekarang ini nggak terlalu seperti itu," imbuhnya.
(aid/kil)