Daniel Dyonisius dan Varnasvara merilis lagu berjudul Wanita yang mengangkat isu tentang kekerasan terhadap perempuan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seni musik sering kali menjadi cermin yang paling jujur dalam menangkap kegelisahan zaman. Ia tidak hanya hadir sebagai hiburan di telinga, tetapi juga sebagai ruang kontemplasi yang mampu menarik pendengarnya masuk ke dalam lorong waktu, menghadapi realitas yang pahit, hingga menemukan katarsis di ujung nada.
Inilah yang coba ditawarkan oleh gitaris dan komposer Daniel Dyonisius bersama kolektif musik Varnasvara melalui karya terbaru mereka yang bertajuk “Wanita”. Dalam keterangan yang diterima Republika pada Senin (29/12/2025) disebutkan bahwa lagu ini bukan sekadar nomor eksperimental biasa, melainkan sebuah monumen suara yang dibangun untuk menyinggung isu sensitif yang masih menjadi luka menganga di Tanah Air yaitu kekerasan terhadap perempuan.
Dirilis sebagai kelanjutan dari draf musikal Daniel sebelumnya seperti “Relung” dan “Kinasih”, “Wanita” membawa pendengarnya menyelami hubungan antara alam fisik dan spiritual, sebuah tema yang relatif jarang dieksplorasi di tengah hiruk-pikuk musik populer saat ini yang cenderung seragam.
Lahirnya komposisi “Wanita” dipicu oleh keresahan Daniel terhadap maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih terjadi hingga hari ini. Namun, alih-alih hanya memberikan pernyataan kontemporer, Daniel memilih untuk menarik akar narasi ini jauh ke belakang, ke sebuah titik hitam dalam sejarah demokrasi Indonesia yaitu Tragedi Mei 1998.
Lirik lagu ini secara spesifik menyoroti sosok protagonis yang nyata, Ita Martadinata. Bagi mereka yang mengikuti catatan sejarah hak asasi manusia, nama Ita adalah simbol keberanian sekaligus kepiluan. Ia adalah seorang aktivis muda yang dengan gigih mendampingi perempuan korban kekerasan dalam kerusuhan 1998, sebelum akhirnya hidupnya direnggut secara tragis dalam sebuah insiden kekerasan yang hingga kini masih menyisakan banyak tanda tanya.
Dalam lagu ini, Daniel menulis lirik yang bertukar narasi antara orang ketiga dan orang kedua mengenai kematian Ita. Pendekatan ini membuat pendengar tidak hanya menjadi pengamat, tetapi seolah diajak berbicara langsung dengan jiwa sang aktivis. Kerusuhan 1998 digambarkan sebagai sebuah katalisator demokrasi, namun di saat yang sama, ia menjadi alegori gelap bagi maskulinitas yang berlebihan, perilaku kebinatangan manusia, dan iblis batiniah yang lepas kendali.
“Wanita” melampaui batas-pembatas genre musik konvensional. Melalui struktur eksperimental, lagu ini merajut tema mengenai trauma antargenerasi, khususnya yang dialami oleh perempuan Tionghoa Indonesia yang menjadi sasaran dalam berbagai insiden kekerasan massa di masa lalu. Trauma tersebut bukan hanya milik mereka yang mengalaminya langsung, melainkan juga menetap dalam memori kolektif keturunan mereka.
.png)
9 hours ago
3















































