Jakarta -
Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih melanda Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, tercatat sejak awal tahun hingga Maret 2025, sebanyak 73.992 orang berhenti dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan karena terkena PHK.
Sementara itu, sepanjang 2024 saja, BPJS Ketenagakerjaan mencatatkan 257.471 peserta BPJS Ketenagakerjaan yang berhenti dari kepesertaannya karena terkena PHK.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan Kementerian Ketenagakerjaan telah melaporkan bahwa terjadi tren kenaikan angka PHK. Hal ini juga telah mendapat perhatian khusus dari Menteri Ketenagakerjaan Yassierli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kondisi PHK kita sudah lihat bahwa data-data dari Kementerian Ketenagakerjaan sudah keluar, dan mereka juga menyadari, kemarin Pak Menteri juga menyampaikan bahwa memang ini sesuatu yang perlu diperhatikan karena ada kenaikan," kata Shinta dalam acara Media Briefing Apindo Indonesia Quarterly Update di Jakarta Selatan, Selasa (13/5/2025).
Menurut Shinta, di satu sisi banyak pekerjaan baru yang tercipta berkat investasi-investasi baru yang masuk. Namun demikian, di luar daripada PHK, Indonesia juga harus menyiapkan 3-4 juta pekerjaan baru setiap tahunnya. Oleh karena itu, menurutnya saat ini Indonesia perlu melakukan revitalisasi padat karya.
"Jadi walaupun sudah ada pekerjaan baru dari investasi yang masuk, ini tidak bisa memadai dengan kondisi yang ada. Yang jelas, kenaikan yang sangat signifikan dan tidak berhenti di sini," ujarnya.
Alasan PHK Terjadi
Apindo melakukan survei kondisi usaha kepada 357 perusahaan anggotanya pada Maret 2025. Salah satu hasilnya dirangkum 5 alasan paling utama dari para perusahaan yang melakukan aksi PHK.
Berdasarkan hasil survei tersebut yang tercantum dalam bahan paparan Shinta, tercatat alasan dengan vote tertinggi (pertama) karena terjadi penurunan permintaan. Alasan tersebut mendapat vote dari 69,4% perusahaan.
Di posisi kedua, 43,4% perusahaan mengaku mengambil langkah PHK karena alasan kenaikan biaya produksi. Ketiga, 33,2% perusahaan melakukan PHK karena perubahan regulasi ketenagakerjaan berupa upah minimum (UM).
Keempat, 21,4% perusahaan melakukan PHK karena alasan tekanan produk impor. Kelima, 20,9% perusahaan melakukan PHK karena karena faktor teknologi atau otomasi. Kemudian dari jumlah perusahaan yang disurvei, 67,1% di antaranya menyatakan tidak berencana untuk melakukan investasi baru satu tahun ke depan.
(shc/eds)