Profil Sritex (SRIL) yang Kini Pailit, Pernah Berjaya karena Suplai Seragam Militer ke 55 Negara

3 weeks ago 6

PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) dahulu pernah menjadi produsen raksasa tekstil di Indonesia.

 MNC Media)

PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) dahulu pernah menjadi produsen raksasa tekstil di Indonesia. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) dahulu pernah menjadi produsen raksasa tekstil di Indonesia. Nama Sritex melambung pada satu dekade lalu saat mencatat prestasi dengan menyediakan seragam militer untuk lebih dari 50 negara.

Kini, perusahaan asal Sukoharjo, Jawa Tengah itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Sritex dinilai lalai memenuhi kewajiban yang tertuang dalam perjanjian damai atau homologasi dengan PT Indo Bharat Rayon yang disepakati pada 2022.

Sritex berawal dari Pasar Klewer Solo. Saat itu, H.M. Lukminto mendirikan SRIL pada 1996 dan dua tahun kemudian membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna.

Pada tahun 1992, Sritex menjadi perusahaan tekstil terintegrasi setelah memperluas empat pabrik hingga memiliki empat lini produksi dalam satu atap, yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana. Tak tanggung-tanggung, pengoperasian pabrik dari hulu ke hilir ini diresmikan Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Dua tahun kemudian atau 1994, Sritex yang awalnya fokus pada produk fesyen mulai memasok seragam militer untuk NATO dan tentara Jerman. Di dalam negeri, Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga memesan seragam dari Sritex sejak bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Sempat terdampak krisis 1998, Sritex bangkit dan terus memperbesar skala bisnisnya termasuk memperluas pelanggan seragam militer hingga ke Timur Tengah dan Asia. Pelanggan utamanya adalah Jerman, Kroasia, dan Malaysia. 

Rupanya, seragam yang dipakai TNI dalam tugas internasional menarik perhatian negara-negara lain sehingga banyak yang memesan ke Sritex. Sritex dipercaya oleh banyak negara karena mampu memproduksi seragam militer sesuai spesifikasi yang dibutuhkan seperti anti air, anti api, anti peluru, hingga anti senjata kimia. Selain mutu yang bagus, inovasi teknologi yang dilakukan juga menjadi kunci sukses perseroan saat itu.

Bisnis Sritex pun berkembang pesat. Model bisnisnya menguntungkan karena Sritex menggunakan bahan baku dan tenaga kerja lokal sementara produknya banyak diekspor ke luar negeri. Tak hanya seragam militer, SRIL juga mengekspor benang, kain, dan pakaian fesyen ke 40 negara.

Pada 2013, Sritex melantai perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kinerja operasional dan keuangan Sritex pun cemerlang. Pada 2013, pendapatan SRIL mencapai Rp4,7 triliun sementara pada 2018 naik lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp15 triliun dalam kurun waktu lima tahun.

Namun, peningkatan pendapatan Sritex dibarengi dengan lonjakan utang. Jika pada 2013, total liabilitasnya tercatat Rp3 triliun, maka pada 2018, nilainya membengkak hingga empat kali lipat menjadi Rp12,3 triliun. Kenaikan liabilitas ini membebani kinerja keuangan Sritex karena harus membayar bunga cukup besar.

Penurunan kinerja Sritex terjadi pada 2021 di mana pendapatan usaha perseroan anjlok 32 persen dari Rp17,8 triliun pada 2020 menjadi Rp12,1 triliun. Pemburukan kinerja mencapai puncaknya pada 2023 di mana pendapatan Sritex tinggal Rp5 triliun atau kurang dari 30 persen dari pendapatan tertinggi pada 2020 sebesar Rp17,8 triliun.

Sementara, utangnya melonjak tajam di mana liabilitasnya mencapai Rp23,3 triliun pada 2021 dari sebelumnya Rp16,4 triliun. Sritex semakin kesulitan menahan laju utang untuk membiayai modal kerja hingga per 30 Juni 2024 dengan posisi utang berbunga perseroan menembus Rp14,5 triliun. Sementara posisi ekuitasnya minus Rp16 triliun.
 
Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam mengungkapkan, kinerja Sritex tertekan sejak pandemi Covid-19. Menurut Welly, perusahaan yang selama ini mengandalkan ekspor tertekan penurunan permintaan tekstil secara global akibat kondisi geopolitik dan inflasi.

"Masyarakat global lebih mengutamakan kepentingan pangan dan energi (daripada tekstil)," kata Welly, beberapa waktu lalu.

Sementara dari dalam negeri, Sritex kesulitan beradaptasi karena pasar sesak dengan produk impor dari China. Welly mengatakan, banyak impor pakaian ilegal di Indonesia yang menyebabkan kondisi oversupply sehingga produsen tekstil lokal tak bisa bersaing karena kalah harga. 

Situasi ini menggencet Sritex yang mencoba bangkit dari keterpurukan. Ditambah lagi, beban utang yang semakin besar membuat arus kas Sritex berdarah-darah (bleeding). Kini, mitra bisnis Sritex mulai menggugat perseroan.

Gugatan terbaru yang dilayangkan PT Indo Bharat Rayon membuat pengadilan menjatuhkan status pailit atas Sritex. Perseroan pun harus menarik utang lebih banyak lagi dengan menjaminkan lebih dari 50 persen asetnya untuk membayar kewajiban. Akhirnya, tingginya utang dan suramnya prospek bisnis tekstil membuat Sritex karam. 

(Rahmat Fiansyah

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |