Pemuda Merawat Empati Bangsa

10 hours ago 1

Oleh : Arief Rosyid Hasan

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap 28 Oktober, negara memperingati Sumpah Pemuda. Setiap tahun juga, kita diajak dan “dipaksa” untuk melihat kembali perjalanan pemuda hingga hari ini. Tentang bagaimana potensi dan sejauh mana target serta kontribusi pemuda yang telah diberikan kepada bangsa. Namun, satu hal yang tak kalah penting untuk dibahas dan direfleksikan, ialah tentang pemuda dalam merawat empati dan nurani bangsa.

Dalam konteks hari ini, kita (utamanya pemuda sebagai populasi terbanyak di Indonesia) dihadapkan pada kenyataan kelam, bahwa pada tahun 2020 ada 9 juta lebih ujaran kebencian di Facebook dan platform sosial media lainnya. Ujaran kebencian ini dapat berupa rasisme dan pencemaran nama baik.  Carut marut krisis karakter di dunia maya tersebut tidak dapat disepelekan, sebab itu adalah cerminan karakter pemuda.  Kita tentu dapat melihat bagaimana aktivitas pemuda sebagian besar dipengaruhi dan dikontrol dari konektivitasnya dengan smartphone dan internet.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Ironisnya, di era digital yang serba terkoneksi, empati justru terasa semakin langka. Krisis karakter merajalela di semua level umur. Di media sosial, ujaran kebencian, caci maki, dan perundungan digital seolah menjadi tontonan sehari-hari. Orang lebih mudah menghina daripada mendengar, lebih cepat menilai daripada memahami. Ini adalah tanda bahwa empati kita sedang sakit. Oleh karena itu, penting untuk melihat akar permasalahan dan langkah strategis dalam menyembuhkan krisis tersebut. Sehingga pemuda mampu mewujudkan kembali cita-cita Sumpah Pemuda itu sendiri.

Pendidikan dan Kecemasan

Ada 88% kepala rumah tangga di Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan S1. Angka ini bukan sekadar statistik, namun kenyataan yang harus disadari kontribusinya dalam membentuk berbagai kecemasan pemuda saat ini. Artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia belum mendapatkan akses intelektualitas- dan intelektualitas ini tidak sekadar didefiniskan melalui selembar kertas ijazah, melainkan sebuah ukuran dalam berpikir kritis, mendapatkan peluang, serta kesempatan-kesempatan kerja. Tidak adanya proses intelektualitas generasi penerus mampu membentuk kecemasan yang mempengaruhi aktivitasnya di dunia maya, utamanya sosial media yang menjadi sarang terbentuknya ujaran kebencian dan rasisme.

Maka, penurunan angka kepala rumah tangga yang tidak mengenyam pendidikan S1 perlu disuntikkan melalui jalur pendidikan itu sendiri, di antaranya dengan penyetaraan akses sekolah, penyejahteraan guru, dan fasilitas pendidikan di seluruh pelosok negeri, utamanya di Indonesia bagian timur. 

Orang tua yang memiliki pendidikan layak bisa mendistribusikan setidaknya pola pengasuhan dan intelektualitas bagi anak-anaknya. Hal itu, dapat menjadi jalan bagi pemuda- utamanya Gen Z dan Gen Alpha dalam mendistribusikan narasi yang benar dan bijaksana, sehingga pemuda tidak lagi terjebak pada informasi dan narasi yang penuh gimmick, FOMO, dan viralitas. Selain itu, dalam konteks aktivisme- ada kampus, organisasi kepemudaan, dan ruang komunitas juga memiliki peran penting. Mereka bukan hanya tempat belajar teori, tetapi arena belajar yang selalu bertumbuh dengan idealisme dan realitas. 

Pemuda, Kepercayaan, dan Empati 

Jajak pendapat yang dilakukan sebuah lembaga pada 2022, merekam persepsi publik terhadap pemuda dengan pertanyaan pertama- apa yang muncul di benak ketika mendengar kata “pemuda”. Hasilnya, lebih dari 30 % menjawab: generasi penerus dan 20% lebih menjawab: semangat. Dengan kata lain, publik menyimpan optimisme terhadap pemuda. Artinya, terdapat kepercayaan yang diberikan kepada pemuda—kepercayaan untuk melanjutkan estafet perjuangan, dan lebih penting lagi, untuk menjaga hati bangsa ini agar tetap hangat dengan empati. 

Pemangku kebijakan dan generasi yang lebih tua harus berani memberikan kepercayaan dan panggung kepada pemuda. Bukan sekadar jargon yang terus diulang-ulang, bahwa pemuda merupakan generasi penerus. Melainkan, pemuda diberi ruang dan kesempatan- entah sebagai pembuat kebijakan, sebagai guru, sebagai relawan, sebagai penggerak literasi, sebagai politikus, dan berbagai arena lain yang bisa terus dikembangkan. 

Kepercayaan ini mampu meruntuhkan krisis eksistensial pemuda dan membentuk mental sebagai generasi penerus. Kepercayaan mampu memberikan tindakan-tindakan yang realistis. Dengan kepercayaan pemuda memiliki kesempatan melihat kenyataan-kenyataan bahwa masih banyak siswa di Papua yang tidak mampu membeli seragam sekolah ataupun guru yang tidak mendapatkan gaji yang layak. Sebab, kepercayaan dan empati ini tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan dari kerja-kerja nyata dan dukungan berbagai pihak yang dibangun secara sadar dan struktural. 

Negara membutuhkan estafet generasi dan pemimpun harus memberikan kepercayaan kepada kita, para generasi penerus. Bukankah, Sumpah Pemuda pada tahun 1928 lahir dari sebuah ketulusan hati dan empati yang mendalam dari para pemuda yang ingin berserikat. Mereka mematahkan seluruh ego dan merendahkan hati untuk duduk bersama demi persatuan. 

Sumpah Pemuda adalah wujud nyata dari bagaimana pemuda merawat empati dan nurani bangsa. Sesuatu yang jarang kita refleksikan di zaman serba instan dan mengandalkan kecepatan ini. Di tahun-tahun penuh disrupsi, semangat itu menunggu untuk dihidupkan kembali. Empati harus menjadi fondasi baru dalam setiap langkah pemuda Indonesia. Karena tanpa empati, kecerdasan akan kehilangan arah, dan perjuangan akan kehilangan makna.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |