Menghapus Jejak Karbon Merajut Masa Depan Hijau 

3 weeks ago 4

Pertamina berhasil berhasil melakukan dekarbonisasi sebesar 1,13 juta ton C02e dari target 910 ribu ton C02e pada 2023.

 MNC Media/ Sindonews)

Menghapus Jejak Karbon Merajut Masa Depan Hijau (Foto: MNC Media/ Sindonews)

IDXChannel - Sejak masa praindustri, suhu dunia sudah memanas sekitar 1,19 derajat celsius dalam jangka waktu 10 tahun. Ini memicu terjadinya cuaca ekstrem seperti gelombang panas, badai, dan kekeringan yang lebih intens serta perubahan pola cuaca di seluruh dunia. 

Sahara, yang selama ribuan tahun gersang, mulai menunjukkan tanda-tanda vegetasi. Sementara hutan hujan Amazon yang dikenal sebagai paru-paru dunia pun mulai mengalami pengeringan dan deforestasi di sepanjang wilayahnya.

Fenomena tersebut dipicu oleh penggunaan bahan bakar fosil yang terus menerus seperti batu bara, minyak dan gas alam. Jika emisi karbon terus meningkat, Antartika dan Greenland dapat kehilangan sejumlah besar massa es dan permukaan air laut bisa naik hingga 1 meter menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 

Di sisi lain, produksi minyak bumi secara global juga mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya kesadaran global akan pentingnya menjaga lingkungan. Komitmen ini memaksa setiap negara termasuk Indonesia untuk mencari sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Komitmen tersebut dikukuhkan oleh 195 negara dengan meratifikasi Perjanjian Paris atau Paris Agreement pada 2016 lalu. Setiap negara yang berpartisipasi dalam Kesepakatan Paris diwajibkan untuk menyerahkan Nationally Determined Contributions (NDCs), yaitu target pengurangan emisi gas rumah kaca yang disesuaikan dengan kondisi nasional masing-masing negara.

Indonesia pun mendeklarasikan penurunan emisi menjadi 31,89 persen pada 2030 dengan target dukungan internasional sebesar 43,20 persen. Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah berupa penetapan target emisi nol bersih, pengembangan energi terbarukan, dan pengurangan subsidi bahan bakar fosil.

Keikutsertaan Indonesia juga dilatarbelakangi oleh konsumsi minyak bumi yang mencapai 1,5 juta barrels of oil per day (BOPD). Sementara produksi minyak dalam negeri hanya mencapai 700 ribu BPOD. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut, terdapat ketimpangan yang besar antara konsumsi dan produksi sehingga mengharuskan Indonesia untuk meningkatkan impor minyak.

Ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) ini tidak hanya berkontribusi terhadap neraca perdagangan tapi juga meningkatkan kerentanan terhadap fluktuasi harga minyak global dan risiko pasokan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, PT Pertamina (Persero) sebagai salah satu perusahaan energi terbesar di Indonesia memiliki andil yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi yakni dengan menempatkan energi terbarukan sebagai salah satu pilar utama dalam strategi bisnis jangka panjang. 

Dalam implementasinya, Pertamina mengalokasikan 15 persen dari belanja modal atau capital expenditure (capex) untuk mengembangkan bisnis nol karbon ini.

Komitmen Pertamina pada Energi Terbarukan

BUMN migas itu mengembangkan kapasitas energi terbarukan hingga 10 GW pada 2026 dengan nilai investasi USD10 miliar. Ini difokuskan pada energi panas bumi, tenaga surya, bioenergi, hingga infrastruktur kendaraan listrik.

Dalam memaksimalkan potensi energi panas bumi yang baru tergarap 4 persen, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Geothermal Energy (PGE) mengoperasikan PLTP dengan nilai investasi USD1 miliar. Kapasitas yang sudah terpasang mencapai 672 MW dengan target 1 GW hingga 2026. Pada 2022, kontribusi panas bumi Pertamina membantu mengurangi emisi karbon sebesar 3,2 juta ton CO₂ per tahun.

Kemudian, pemasangan panel surya di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan fasilitas lain juga tak luput dari usaha Pertamina. Pada 2021, Perseroan meresmikan PLTS terbesar di area SPBU Bali yang mampu menghasilkan 1 MWp listrik. Setidaknya terjadi peningkatan kapasitas energi surya hingga 1,6 MW dari proyek-proyek percontohan yang dijalankan Pertamina di 2022. Perusahaan juga menargetkan untuk menginstalasi 500 MWp tenaga surya di berbagai lokasi operasionalnya pada 2025 dengan perkiraan anggaran USD2 juta per lokasi.

Pertamina pun mengembangkan biogas dan biodiesel berbasis bahan baku nabati seperti kelapa sawit dan minyak jelantah dengan menggandeng petani lokal. Program Green Diesel (D100) yang diluncurkan pada 2020 di Kilang Dumai ini mampu memproduksi diesel berbasis minyak kelapa sawit dengan kapasitas 1.000 barel per hari. 

Pada 2022, Pertamina meluncurkan B40 (campuran 40 persen biodiesel dengan solar) sebagai bagian dari komitmennya untuk mengurangi impor BBM dan mendorong penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. Kapasitas produksi Green Diesel ditargetkan mencapai 6.000 barel per hari dengan nilai investasinya sekitar USD500 juta.

Inovasi CCS dan Pengembangan Hidrogen Hijau

Salah satu inovasi paling signifikan Pertamina dalam menurunkan emisi karbon adalah penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi ini memungkinkan penangkapan emisi karbon dari fasilitas industri dan pembangkit listrik, yang kemudian disimpan di bawah tanah sehingga tidak dilepaskan ke atmosfer.

Pada 2022, Pertamina memulai proyek percontohan CCS di lapangan Tangguh, Papua Barat, dan Lapangan Sukowati, Jawa Timur. Proyek ini bertujuan untuk menangkap 1,5 juta ton CO₂ per tahun dari operasi migas yang ada. Ini menjadikannya salah satu proyek CCS terbesar di Asia Tenggara sehingga Indonesia memiliki potensi menjadi Carbon Capture Hub atau pusat penyimpanan CO2 dalam skala regional.

Menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, Indonesia memiliki 520 gigaton CO2 storage sehingga akan berkontribusi besar terhadap pencapaian target keberlanjutan global. 

Pertamina sendiri memiliki potensi 400 giga pounds CCUS atau semacam rumah untuk karbon dalam mengurangi emisi gas buang dari operasional hulu migas. Dengan begitu, penyimpanan karbon dapat menjadi bisnis baru dan CO2 yang tersimpan akan menambah kredit karbon Indonesia.

“Bahwa transisi energi juga bukan hanya mengurangi kegiatan bisnis di hulu migas. Tetapi juga menciptakan bisnis baru,” kata Nicke dalam Kick Off Field Trial Interwell CO2 Injection di Lapangan Sukowati, Bojonegoro, Jawa Timur pada Senin (14/10/2024).

Di sisi lain, Pertamina mulai mengembangkan hidrogen hijau, yang dihasilkan dari air dengan menggunakan energi terbarukan (EBT). Hidrogen hijau dianggap sebagai salah satu bahan bakar masa depan paling potensial karena menghasilkan nol emisi. 

Karena itu, perseroan berencana mengembangkan fasilitas produksi hidrogen hijau berskala besar dengan kapasitas 50 ribu ton per tahun pada 2026-2030. Proyek ini mengandalkan sumber daya energi terbarukan yang sudah dimiliki Pertamina, terutama dari panas bumi dan tenaga surya.

Meskipun hidrogen hijau memiliki potensi besar, Pertamina dihadapkan pada biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan hidrogen yang dihasilkan dari bahan bakar fosil. Nilai investasi yang dibutuhkan dalam proyek jangka panjang ini mencapai USD1,5-USD2 miliar termasuk investasi teknologi elektrolisis, infrastruktur penyimpanan, dan biaya distribusi.

Karena itu, dibutuhkan kerja sama dengan beberapa mitra internasional, termasuk menjajaki potensi ekspor hidrogen hijau ke pasar global khususnya Eropa yang semakin membutuhkan energi bersih. Saat ini Pertamina telah menggandeng ENEOS Corporation, sebuah perusahaan energi asal Jepang untuk mengembangkan teknologi hidrogen hijau. 

Infrastruktur Kendaraan Listrik

Untuk mempercepat transisi energi, Pertamina juga melebarkan sayapnya ke bisnis infrastruktur kendaraan listrik (EV). Anak usahanya, Pertamina Power Indonesia (PPI) meluncurkan sejumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di beberapa kota besar, termasuk Jakarta dan Bali pada 2022 lalu.

Perseroan berencana untuk membangun lebih dari 500 unit SPKLU di seluruh Tanah Air pada 2025 untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik dan mengurangi emisi karbon. Setiap unit SPKLU membutuhkan investasi sekitar USD50 ribu sampai USD100 ribu sehingga total dana yang dibutuhkan mencapai USD50 juta.

Selain SPKLU, Perseroan juga mengincar bisnis battery swapping di mana pengguna kendaraan listrik dapat mengganti baterai yang habis dengan baterai yang sudah terisi penuh. Ini akan mempersingkat waktu pengisian dibandingkan dengan metode pengisian konvensional. 

Ekspansi bisnis ini berlanjut pada kolaborasi antara Pertamina NRE, subholding Pertamina yang fokus pada pengembangan energi bersih dengan PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk (VKTR), anak perusahaan dari Grup Bakrie. Keduanya akan mengembangkan opsi pembiayaan yang fleksibel untuk operasi dan pemeliharaan bus listrik melalui e-Mobility as a Service (e-MaaS). Pasalnya, investasi infrastruktur transportasi publik saat ini masih mengandalkan dana pemerintah.

VKTR dan Pertamina NRE akan membentuk joint venture (JV) atau usaha patungan yang menyediakan kendaraan listrik untuk kebutuhan Transjakarta atau perusahaan-perusahaan lain. Dengan menyediakan belanja modal yang memadai, perusahaan bersangkutan cukup membayar sewa atau membayar rupiah per kilometer pakai kepada JV tersebut. Adapun JV ditargetkan menjual 10 ribu unit kendaraan listrik hingga 2030. 

"VKTR berkomitmen untuk menyediakan solusi financing yang memudahkan untuk memfasilitasi infrastruktur EV yang komprehensif, mengalihkan model CAPEX ke model OPEX, dan secara signifikan berkontribusi pada ekonomi Indonesia melalui e-MaaS. Bersama dengan PNRE, kami siap merevolusi lanskap EV di Indonesia dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih hijau dan sadar lingkungan," ujar CEO VKTR Gilarsi W Setijono usai seremonial penandatanganan Joint Development Agreement di Graha Pertamina, Jakarta pada Selasa (26/3/2024).

Saat ini, Indonesia mengoperasikan lebih dari 260 ribu unit bus terdaftar dengan nilai USD50 miliar. CEO Pertamina NRE, John Anis menambahkan, kemitraan ini akan berfokus pada bus sebagai transportasi massal untuk tahap awal. Kemudian berkembang ke segmen kendaraan komersial seperti truk dan kendaraan lainnya.

"Kami sangat bangga dan optimis dengan kerjasama ini, sudah saatnya berbagai pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat membangun ekosistem kendaraan listrik yang kuat. Tidak hanya bicara tentang peningkatan ekonomi, menjaga lingkungan dan keberlanjutan juga menjadi hal yang juga  terus  Pertamina kembangkan lewat berbagai inovasi dan kerjasama strategis lainnya,” kata John.

Digitalisasi Energi Bersih

Digitalisasi memainkan peran penting dalam inovasi energi hijau Pertamina. Melalui penggunaan Internet of Things (IoT), big data, kecerdasan buatan (AI), smart grid, hingga blockchain dapat meningkatkan efisiensi operasional dan mengoptimalkan produksi energi terbarukan.

Adapun pemantauan dan optimasi berbasis IoT sudah diterapkan di lapangan panas bumi dan mampu meningkatkan output energi hingga 5-10 persen dari kapasitas normal. Tak kalah, Pertamina juga menggunakan teknologi digital twin untuk mensimulasikan kinerja pembangkit listrik tenaga surya dan panas bumi, yang memungkinkan perusahaan melakukan prediksi dan pemeliharaan secara lebih efisien.

Di berbagai SPBU Pertamina misalnya, panel surya telah dipasang untuk mendukung operasional stasiun pengisian bahan bakar dengan energi yang lebih ramah lingkungan. Digitalisasi memungkinkan manajemen SPBU memantau konsumsi energi, output tenaga surya, serta mengintegrasikannya dengan jaringan listrik umum.

Di sisi lain, Perseroan mendirikan Digital Acceleration Center (DAC) sebagai pusat inovasi digital dan pengembangan teknologi di bidang energi, termasuk energi bersih. Salah satu inovasinya, berhasil menciptakan platform untuk mengukur jejak karbon (carbon footprint) dalam proses produksi energi.

Saat ini ribuan sumur yang dikelola Pertamina sudah terkoneksi secara digital dari hulu hingga ke hilir. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengatakan, transformasi digital dan inovasi riset teknologi ini berhasil mendorong kinerja yang positif di hampir seluruh lini bisnis.

Subholding Upstream Pertamina mampu mencatatkan kenaikan produksi migas sebesar 8 persen sepanjang 2023. "Kita sudah mulai menggunakan AI untuk mengolah dan analisa data secara lebih cepat sehingga pengambilan keputusan  bisa dilakukan dengan akurat," ujar Nicke dalam acara Pemred Gathering Pertamina 2024, di Bali, pada Minggu (23/6/2024).

Bahan Bakar Rendah Emisi untuk Masa Depan

Sebagai bagian dari komitmennya terhadap energi bersih, Pertamina juga mengembangkan produk bahan bakar rendah emisi seperti biofuel. Produk tersebut merupakan bahan bakar terbarukan pengganti bahan bakar fosil misalnya biogas, bioetanol, dan biodiesel.

Hal ini sejalan dengan revisi perubahan Peraturan Pemerintah 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan berbagai upaya untuk mendorong tercapainya target bauran energi. Dalam konteks pengembangan bahan bakar nabati, diperlukan diversifikasi feedstock untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis sumber bahan bakar nabati (BBN).

Namun kebutuhan akan stok Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah untuk program mandatori biodiesel tidak perlu dikhawatirkan. Menteri Energi dan Sumber Daya (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, stok CPO aman untuk kebutuhan pengembangan biodiesel ke depan.

"Kalau ditanya bahwa itu cukup atau tidak, B35 sampai B40, itu kan kita habiskan kurang lebih sekitar 14 juta kiloliter. Nah, sementara ekspor kita kan masih banyak. Nah, kalau ditanya kapasitasnya CPO kita cukup atau tidak, cukup. Pasti cukup," ujarnya di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (21/10/2024). 

Pertamina sudah mendistribusikan B30, yaitu campuran 30 persen biodiesel berbasis nabati (minyak sawit) dengan 70 persen solar fosil. Penggunaan biodiesel ini diklaim secara signifikan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 20-30 persen dibandingkan solar konvensional.

Sejalan dengan itu, peluang industri biofuel sangat besar lantaran Indonesia mensuplai 21 persen minyak nabati dan minyak sawit dunia. Vice Chairman Research & Technology Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Jummy BM Sinaga menyebut, kapasitas terpasang biodiesel di Indonesia mencapai 20 juta kiloliter. 

Dengan kata lain, masih ada ruang untuk meningkatkan campuran hingga 40 persen atau B40. Saat ini penggunaan biodiesel telah berhasil diimplementasikan di sektor otomotif dan sedang berlangsung uji coba untuk non otomotif seperti sektor kereta api, alat berat di sektor pertambangan, pembangkit listrik, dan alat mesin pertanian.

"Program B35 saat ini telah berhasil diimplementasikan dan progress uji coba biodiesel B40 yang sedang dilakukan secara bertahap. Jika uji coba B40 diperkirakan selesai akhir 2024 dan berjalan dengan lancar maka ada kemungkinan implementasinya pada 2025," tutur Jummy pada The 2nd Pertamina Energy Dialog 2024, Senin (5/8/2024).

Pertamina juga meluncurkan green diesel (D100) atau solar yang sepenuhnya diproduksi dari minyak sawit murni dan diproduksi di Kilang Dumai dengan kapasitas 1.000 barel per hari. Ini memiliki potensi untuk menekan emisi karbon hingga 80 persen sehingga menjadikannya salah satu bahan bakar paling ramah lingkungan.

Pada 2021, Pertamina menyediakan Pertamax Turbo Euro 4, yakni bahan bakar berkualitas tinggi yang sesuai dengan standar emisi Eropa dan mampu mengurangi emisi gas buang secara signifikan. Dengan kandungan sulfur yang rendah, Pertamina Dex berkontribusi pada penurunan emisi partikel berbahaya (seperti SOx) yang sering dihasilkan oleh bahan bakar dengan kadar sulfur tinggi.

Solar CN 51 juga varian solar ramah lingkungan yang dikembangkan oleh Pertamina. Angka cetane number (CN)-nya lebih tinggi, yaitu 51 dibandingkan dengan solar biasa yang memiliki CN 48. CN 51 memberikan pembakaran yang lebih efisien, sehingga menghasilkan emisi yang lebih rendah.

Selain solar, Perseroan mengembangkan bioavtur atau bahan bakar pesawat dengan campuran komponen nabati. Saat ini bioavtur diproduksi di Kilang Cilacap dengan kandungan nabati 2,4 persen. Penggunaan Bioavtur diharapkan dapat mengurangi 50-80 persen emisi karbon pesawat terbang dibandingkan saat menggunakan avtur konvensional.

Dari berbagai upaya tersebut, Pertamina berhasil berhasil melakukan dekarbonisasi sebesar 1,13 juta ton C02e dari target 910 ribu ton C02e pada 2023. Keberhasilan ini menjadikan Pertamina menduduki peringkat pertama dalam ranking ESG di dunia berdasarkan sustainalytics, pada subsektor minyak dan gas terintegrasi dari 61 perusahaan dunia.

Prospek Cerah dan Tantangan Bisnis Energi Bersih

Permintaan akan energi bersih seperti energi terbarukan, teknologi rendah emisi, dan kendaraan listrik (EV) semakin meningkat di berbagai negara. Menurut laporan Renewables 2022 Global Status Report, kapasitas energi terbarukan secara global tumbuh sebesar 9,1 persen pada 2021, dengan investasi mencapai USD366 miliar. 

Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), persentase penggunaan batu bara di dalam negeri turun menjadi 40,46 persen pada 2023 dari sebelumnya sebesar 42,38 persen. Sebaliknya, penggunaan energi terbarukan meningkat 0,79 persen menjadi 13,09 persen pada 2023. 

Ini menunjukkan peningkatan minat yang besar dalam penggunaan energi bersih untuk menggantikan energi berbasis fosil. Meski demikian, realisasi tersebut masih di bawah target pemerintah yang menetapkan peningkatan kapasitas EBT sebesar 23 persen pada 2025. Apalagi kebutuhan energi Indonesia pada 2050 diproyeksikan mencapai 2,9 miliar setara barel minyak (SBM). 

Untuk memenuhinya, Indonesia perlu melakukan transisi energi dari fosil ke EBT yang lebih bersih, hijau, dan berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah yakni mendorong kapasitas terpasang, menggenjot produksi, maupun meningkatkan konsumsi energi bersih yang sejalan dengan kebijakan insentif fiskal maupun non fiskal.

Saat ini, pemerintah sudah memberikan tarif khusus dalam harga jual pembangkit listrik energi terbarukan sebagai salah satu insentif fiskal. Sedangkan untuk insentif non fiskal sebagaimana diatur dalam PP Nomor 3 Tahun 2005, pengembangan energi terbarukan juga tidak memerlukan proses tender. Insentif fiskal lainnya bagi pengembang energi baru terbarukan yaitu tax allowance yang mencakup 145 segmen bisnis yang memenuhi syarat untuk tunjangan pajak.

Pemerintah juga menyiapkan insentif pajak dan subsidi bagi kendaraan listrik. Di mana subsidi sebesar Rp70 juta-Rp80 juta untuk mobil listrik berbasis baterai, subsidi sebesar Rp40 juta untuk mobil listrik hybrid, subsidi motor listrik sebesar Rp7 juta per unit, serta konversi motor konvensional menjadi motor listrik sebesar Rp 5 juta per unit. 

Insentif ini diberikan untuk mencapai target 2 juta kendaraan listrik di Indonesia pada 2025. Sementara itu, pasar kendaraan listrik global diperkirakan akan tumbuh sebesar 24,3 per tahun hingga 2028, dengan total penjualan mencapai 39,21 juta unit pada 2030. 

Peluang ini dapat dimanfaatkan Pertamina melalui bisnis teknologi baterai, infrastruktur pengisian, dan kendaraan listrik misalnya membangun 10 ribu SPKLU di seluruh Indonesia hingga 2030 sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya.

Kemudian pengembangan hidrogen hijau juga berpotensi menjadikan Indonesia pemain utama di kawasan. Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha Pertamina Salyadi Dariah Saputra mengatakan, hidrogen hijau bisa menjadi salah satu bisnis masa depan Pertamina. 

"Namun, dibutuhkan investasi besar serta dukungan pemerintah sehingga ekosistem hidrogen di sektor transportasi bisa terbangun dengan maksimal," katanya dalam siaran pers, Kamis (22/8/2024).

Pertamina sendiri telah memetakan 17 lokasi sumber pasokan hidrogen yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Saat ini perseroan tengah mengembangkan proyek percontohan hidrogen hijau di area geothermal Ulubelu dengan target produksi 100 kg per hari dan memulai proyek percontohan hidrogen hijau di Jawa Barat dengan menggunakan energi panas bumi.

Tantangan Bisnis Energi Bersih

Pengembangan energi bersih masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Pasalnya, target pengurangan emisi ini dinilai belum memadai lantaran masih menggunakan co firing, biomassa serta clean coal technology berupa teknologi penangkapan karbon (CCS) pada pembangkit listrik fosil. 

Hal ini dianggap berbahaya berdasarkan analisis dari Yayasan Indonesia CERAH yang menerbitkan risalah Kebijakan Transisi Energi Indonesia 2014-2024. Dalam analisisnya, pencampuran bahan bakar nabati (biomassa), maupun penggunaan clean coal technology seperti CCS pada PLTU, dapat melanggengkan penggunaan batu bara penghasil emisi.

Forest Watch Indonesia (2023) menyebutkan, transisi energi yang mengandalkan bahan bakar nabati seperti biomassa, berpotensi menghilangkan hutan alam seluas 55 ribu hektare (ha) atau deforestasi. Lebih lanjut, penggunaan teknologi CCS dinilai tidak benar-benar menghilangkan emisi, tetapi mencegah pelepasan emisi ke atmosfer melalui penyimpanan bawah tanah. 

Pengamat Energi Komaidi Notonegoro mengungkapkan, harga bahan bakar fosil yang rendah dan akses mudah terhadap pembiayaan untuk proyek-proyek berbasis fosil membuat transisi energi bersih menjadi lebih sulit.

Karena itu, Pertamina diminta lebih berhati-hati saat beralih ke energi bersih lantaran pendapatan Pertamina mayoritas masih berasal dari bisnis fosil.

"Kalau dilihat streaming pendapatan Pertamina, EBT saat ini hanya di panas bumi, uap, dan listrik. Kalau dihitung dari 2019-2023 itu hanya 0,7-1,1 persen. Artinya 98-99 persen pendapatan Pertamina masih dari fosil," katanya dalam media briefing di Sarinah, Jakarta, Selasa (10/9/2024).

Terlepas dari perdebatan tersebut, dana yang diperlukan untuk transisi energi juga sangat besar. Kesepakatan Paris berjanji untuk memberikan bantuan finansial sebesar USD100 miliar per tahun ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Namun, Indonesia setidaknya membutuhkan dana sekitar Rp1.500 triliun untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Sementara itu, dalam laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), secara global investasi yang dibutuhkan mencapai USD131 triliun sepanjang 2021-2050. 

Selain itu, minat investor terhadap proyek EBT cukup rendah akibat tingginya biaya modal dan operasional, serta risiko teknis dan komersial serta pembiayaan yang kurang kompetitif. Masalah perizinan yang terlalu panjang, rumit, dan birokratis juga menjadi penghambat yang menyebabkan lamanya waktu realisasi proyek dan meningkatnya biaya transaksi. 

Di sisi lain, ketersediaan teknologi dan kapasitas infrastruktur energi bersih di Indonesia, seperti energi surya dan hidrogen hijau juga relatif rendah. Ditambah dengan keterbatasan infrastruktur pendukung yang juga menjadi penghalang utama dalam pengembangan tenaga surya skala besar. Pasalnya, ini memerlukan jaringan listrik canggih dan penyimpanan energi yang efisien. Sementara hidrogen hijau masih memerlukan teknologi yang lebih efisien untuk bisa bersaing secara ekonomi.

(DESI ANGRIANI)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |