REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Majelis Masyayikh bersama Kementerian Agama RI mengadakan uji publik untuk dokumen Standar Mutu Pendidikan Pesantren, khususnya untuk jenjang Marhalah Tsaniyah (M2) dan Marhalah Tsalitsah (M3). Kegiatan yang berlangsung pada 4–6 Agustus 2025 di Jakarta ini menjadi langkah penting dalam menentukan arah dan legitimasi Ma’had Aly sebagai lembaga pendidikan tinggi khas pesantren.
Uji publik ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai unsur, antara lain Kementerian Agama RI, Majelis Masyayikh, para Mudir Ma’had Aly se-Indonesia, penulis, reviewer eksternal, pakar pendidikan tinggi, serta mahasiswa program double degree. Forum ini difokuskan pada telaah substansi dokumen dari aspek tarbiyah (pendidikan), bahts (karya ilmiah), dan khidmah (pengabdian).
Forum yang diselenggarakan Kementerian Agama RI ini juga menghadirkan narasumber pakar mewakili 9 takhassus antara lain Prof. Dr. Quraish Shihab, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, Prof. Dr. KH. Said Agil al-Munawar dan Dr. Nasaruddin Idris Jauhar sebagai ruang konsultatif untuk menelaah dan menyempurnakan draft standar mutu yang sedang dalam tahap finalisasi.
Ketua Majelis Masyayikh, KH. Abdul Ghaffar Rozin atau akrab disapa Gus Rozin, menegaskan bahwa penyusunan standar ini bukan semata keperluan administratif, tetapi merupakan jawaban atas tantangan besar regenerasi ulama secara sistemik dan terukur sebagai upaya serius untuk menjaga dan meneruskan tradisi keilmuan Islam di Nusantara.
“Aspirasi pembentukan Marhalah Tsaniyah dan Tsalitsah ini sangat luar biasa. Ini menandakan betapa besar semangat Ma’ahad Aly dalam meneruskan tradisi keilmuan Islam di Nusantara. Kita juga perlu belajar dari negara lain bagaimana cara memproduksi ulama,” kata Gus Rozin.
Menurutnya, Ma’had Aly memikul amanat besar untuk melahirkan ulama yang tidak hanya kompeten secara keilmuan, tetapi juga tangguh secara akademik. Oleh sebab itu, standar mutu M2 dan M3 harus benar-benar disusun secara ketat dan partisipatif.
“Penyusunan standar mutu ini bukan untuk mempersulit, tetapi memang tidak mudah. Ada banyak hal yang harus dipenuhi, terutama kesiapan keilmuan masing-masing pesantren,” lanjutnya.
Sementara itu, dari sisi kebijakan nasional, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno menyoroti pentingnya arah dan posisi Ma’had Aly dalam lanskap pendidikan nasional. Ia menekankan bahwa pilihan strategis perlu diambil: apakah Ma’had Aly akan tetap berada dalam koridor Undang-Undang Pesantren, atau mulai merujuk sebagian pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi.
“Kalau menggunakan pendekatan pendidikan tinggi, maka dosen M2 dan M3 harus minimal S3. Tapi kalau berbasis UU Pesantren, kita memerlukan penguatan regulasi, bahkan bisa sampai pada level Peraturan Presiden (Perpres),” ungkapnya.
Masukan dari forum ini akan menjadi dasar dalam finalisasi dokumen standar mutu yang akan menjadi pijakan bersama dalam memperkuat tata kelola akademik Ma’had Aly. Melalui langkah ini, Ma’had Aly diharapkan menjadi lembaga pendidikan tinggi kaderisasi ulama yang tidak hanya melestarikan turats Islam klasik, tetapi juga relevan dan berdaya saing di tengah dinamika zaman.