Dr. Witanti Prihatiningsih, Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta. (Foto: UPNVJ)
JAKARTA - Perhatian publik belakangan ini tersita kontroversi tokoh publik Miftah Maulana, yang melontarkan ucapan cenderung merendahkan terhadap seorang penjual es teh di acara keagamaan di Magelang, Jawa Tengah. Salah satu utusan khusus Presiden Prabowo Subianto itu melontarkan kata “goblok” ke arah Sunhaji, yang sedang menjajakan dagangannya di tengah para peserta acara.
Rekaman dari kejadian tersebut tersebar luas di internet dan menjadi viral. Pro dan kontra pun tak terhindarkan. Kecaman demi kecaman dilayangkan, dengan sebagian pihak mencoba membela dengan mengatakan bahwa gaya dakwah “Gus Miftah” memang seperti itu. Selang beberapa waktu, Miftah mengundurkan diri dari posisi utusan khusus presiden.
Keseriusan dari kasus ini terlihat dari turunnya pihak istana. Juru bicara kantor komunikasi kepresidenan Adita Irawati mencoba melakukan damage control dengan mengakui kesalahan dan siap menjadikan kasus Miftah sebagai pelajaran ke depan. Namun, alih-alih meredakan kontroversi, Adita justru membuat keributan baru setelah mengucapkan frasa “rakyat jelata” dalam pernyataannya.
Banyak warganet menganggap frasa “rakyat jelata” cenderung merendahkan, mengesankan adanya perbedaan status sosial antara pemimpin dan masyarakatnya. Ada juga sebagian warganet yang memandang “rakyat jelata” hanya dari arti harfiahnya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu rakyat biasa yang bukan berasal dari kalangan bangsawan.
Perlu diingat bahwa kata mengandung dua makna, yaitu denotatif (makna harfiah), dan konotatif (makna tambahan yang melekat). Walau terkesan netral, “rakyat jelata” memiliki nuansa historis dan kultural yang cenderung mengarah ke konotasi negatif.
Teori Semiotika Roland Barthes
Teori semiotika dari pakar literatur dan filsuf Roland Barthes menyuguhkan wawasan tersendiri mengenai konotasi dari sebuah frasa. Pandangan Barthes perihal aspek denotatif dan konotatif bahasa menyoroti bagaimana kata-kata tidak pernah netral; kata-kata sarat dengan makna budaya dan sejarah.
Denotasi "rakyat jelata" mungkin hanya merujuk pada warga negara biasa. Namun, konotasinya—dibentuk oleh sejarah, dinamika kekuasaan, dan sikap masyarakat—membangkitkan gambaran tentang ketundukan, inferioritas, dan pengucilan. Makna berlapis ini bertahan karena bahasa beroperasi dalam sistem tanda yang mencerminkan, serta memperkuat struktur masyarakat.
Secara historis, “rakyat jelata” telah dikaitkan dengan lapisan masyarakat bawah, yang memperkuat perbedaan mencolok antara kaum elite dan masyarakat umum. Selama era kolonial dan feodal, istilah tersebut sering digunakan penguasa untuk menekankan posisi mayoritas warga di kelas bawah.
Kaitan dengan ketidaksetaraan dan subordinasi ini masih digunakan di era modern, bahkan ketika masyarakat telah bergeser ke semangat egaliter. Ketika “rakyat jelata” digunakan saat ini, frasa tersebut dapat secara halus mengabadikan gagasan tentang inferioritas, yang memperkuat stereotip tentang kelas dan status.
Frasa “rakyat jelata” cenderung membangkitkan rasa keterpisahan antara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah. Dengan menyebut warga negara sebagai "rakyat jelata," pejabat mungkin secara tidak sengaja menyiratkan hierarki yang menempatkan diri mereka di atas orang-orang yang mereka layani. Implikasi hierarkis ini dapat mengikis kepercayaan dan menumbuhkan kebencian, terutama dalam masyarakat demokratis di mana prinsip-prinsip kesetaraan dan saling menghormati adalah hal terpenting.
Dampak “rakyat jelata” tidak terbatas pada semantik. Frasa tersebut memiliki implikasi di dunia nyata bagi tata kelola dan persepsi publik. Kata-kata membentuk hubungan emosional dan psikologis antara pemimpin dan warga negara. Istilah seperti “rakyat jelata” dapat mengasingkan sebagian masyarakat, membuat mereka merasa tidak dihargai atau dikucilkan. Hal ini khususnya merugikan di masa krisis atau reformasi ketika pemerintah membutuhkan dukungan dan kerja sama penuh dari masyarakat.