IHSG melemah ke 6.300,14 dipicu penguatan dolar AS dan aksi jual asing. Analis sarankan investor bersikap menunggu dan mencermati pasar.
IHSG Tertekan Sentimen Negatif, Investor Perlu Wait and See. (Foto: Freepik)
IDXChannel – Analis menyarakan investor untuk bersikap menunggu dan mencermati perkembangan pasar alias wait and see di tengah tekanan jual yang menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhir-akhir ini.
Pelemahan indeks dipicu oleh rentetan sentimen negatif, mulai dari penguatan dolar AS, penurunan laba bank besar, hingga potensi arus keluar dana asing.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), per penutupan sesi I Jumat (28/2/2025), IHSG melemah signifikan 2,86 persen ke level 6.300,14, terendah sejak Oktober 2021. Pada Kamis (27/2/2025), indeks acuan tersebut merosot 1,83 persen.
Praktis, IHSG turun 7,39 persen dalam sepekan dan merosot 10,93 persen dalam sebulan terakhir.
Pada Jumat, sebanyak 565 saham melemah dan hanya 88 saham menguat, sementara sebanyak 302 sisanya stagnan.
Nilai transaksi tercatat hari ini mencapai Rp7,41 triliun dengan volume perdagangan 8,85 miliar saham.
Wait and See
Pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai sejumlah sentimen negatif menekan IHSG hari ini, di antaranya penguatan dolar Amerika Serikat (AS), penurunan laba BBRI sebesar sekitar 50 persen pada laporan per Januari 2025 (1M25), serta potensi arus keluar asing yang besar akibat cum date indeks global MSCI.
"IHSG secara teknikal sudah breakdown [menembus] level 6.500. Support akan ada di 6.200 dengan target 6.000," ujar Michael saat dihubungi IDXChannel.com, Jumat (28/2/2025).
Michael menyarankan investor untuk bersikap wait and see, sembari memantau pergerakan pasar.
"Tidak perlu buru-buru belanja, karena harga saham untuk rebound membutuhkan waktu yang tidak singkat. Indonesia perlu gebrakan dari indikator ekonomi seperti GDP, PMI, dan inflasi untuk mengundang minat investor terhadap bursa kita," katanya.
Senada, Founder WH Project William Hartanto berpendapat, pelemahan IHSG saat ini dipicu oleh rentetan sentimen negatif. Beberapa faktor yang dinilai fatal adalah kasus korupsi serta penurunan peringkat dari MSCI yang memicu aksi jual asing.
"Untuk pergerakan secara teknikalnya, memang ada potensi [IHSG] ke 6.000, tapi support terdekat berada pada 6.286. Ada potensi technical rebound pada area ini, tapi belum menjadi titik balik untuk IHSG kembali ke tren menguat," ujar William, Jumat (28/2/2025).
Seperti Michael, William menyarankan investor menerapkan strategi wait and see mengingat tingginya risiko pasar saat ini.
Jika ingin melakukan trading buy, menurutnya, dapat memilih saham yang masih berada dalam tren naik dengan alokasi dana kecil. "Misalnya di saham TAPG. Ini masih oke untuk alternatif trading di saat IHSG melemah,” katanya.
Bank Besar Bebani Indeks
Saham bank kakap menjadi penekan kinerja IHSG. Sebut saja, saham bank BUMN, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) yang terkoreksi 6,61 persen, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) yang melemah 7,14 persen, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) yang tergelincir 1,93 persen.
Saham bank syariah PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) juga berkurang hingga 6,08 persen.
Senasib dengan trio saham bank pelat merah, saham bank Grup Djarum, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) minus 0,59 persen.
Saham emiten konglomerat juga membebani indeks, seperti emiten tambang Grup Salim AMMN yang merosot 4,35 persen dan emiten produsen mi instan ICBP memerah 0,48 persen.
Demikian pula, saham emiten energi Grup Sinarmas DSSA terdepresiasi 4,15 persen, emiten properti Aguan-Salim PANI turun 0,89 persen, dan emiten telekomunikasi BUMN TLKM minus 4,02 persen. Saham otomotif raksasa ASII juga lesu, melorot 3,27 persen.
Sepanjang 2025 (YtD), investor asing terus melakukan aksi jual, dengan nilai (net sell) hingga Rp17,2 triliun di pasar reguler, terutama menyasar saham-saham bank utama. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.