Wacana Perang Tarif Bisa Merusak Perdagangan AS dan China

1 month ago 24

Media China memperingatkan Presiden terpilih AS, Donald Trump, soal dampak dari janjinya untuk mengenakan tarif tambahan pada barang-barang impor dari China.

 Arsip)

Ilustrasi kegiatan ekspor impor oleh kapal kargo. (Foto: Arsip)

IDXChannel – Media China memperingatkan Presiden terpilih AS, Donald Trump, soal dampak dari janjinya untuk mengenakan tarif tambahan pada barang-barang impor dari China. Beijing menilai rencana itu dapat menyeret China dan AS selaku dua kekuatan ekonomi teratas dunia ke dalam perang tarif yang saling merusak.

Trump akan resmi menjabat presiden AS pada 20 Januari 2025. Pada Senin (25/11/2024) lalu, dia mengatakan bakal mengenakan bea impor tambahan sebesar 10 persen terhadap barang-barang dari China. Menurut Trump, kebijakan itu akan dia terapkan sampai Beijing menghentikan perdagangan fentanil, prekursor kimia yang kerap digunakan dalam pembuatan narkoba.

Pada periode pertamanya sebagai presiden AS (2017-2021), Trump juga memainkan perang dagang dengan China, sehingga menghancurkan rantai pasokan global dan merugikan perekonomian akibat inflasi dan melonjaknya biaya pinjaman.

Tim editorial China Daily dan Global Times pada Selasa (26/11/2024) malam memperingatkan Trump untuk tidak menjadikan China sebagai "kambing hitam" atas krisis fentanil di AS.

"Alasan yang diberikan presiden terpilih (Trump) untuk membenarkan ancamannya mengenakan tarif tambahan pada impor dari China tidak masuk akal," tulis China Daily.

"Tidak ada pemenang dalam perang tarif. Jika AS terus mempolitisasi isu ekonomi dan perdagangan dengan menjadikan tarif sebagai senjata, tidak akan ada pihak yang tidak dirugikan," kata surat kabar itu.

Para ekonom mulai menurunkan proyeksi mereka terkait pertumbuhan ekonomi China yang mencapai USD19 triliun untuk 2025 dan 2026 sebagai antisipasi kebijakan tarif lebih lanjut yang dijanjikan Trump selama kampanye pemilu beberapa waktu lalu. Mereka juga memperingatkan warga Amerika agar bersiap-siap menghadapi kenaikan biaya hidup.

"Untuk saat ini satu-satunya hal yang kami tahu pasti adalah bahwa risiko di wilayah ini tinggi," kata kepala ekonom Asia di S&P Global Ratings, Louis Kuijs.

Halaman : 1 2

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |