Stabilisasi Gaza Bukan Peacekeeping, Pakar UI Minta Pemerintah Hitung Risiko

4 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID,DEPOK -- Rencana pengiriman Pasukan Stabilisasi ke Gaza kembali menjadi sorotan setelah Dewan Keamanan PBB membuka mandat bagi negara-negara untuk berkontribusi. Ketua Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, Broto Wardoyo, menegaskan bahwa Indonesia dapat berpartisipasi sepanjang mandat PBB jelas, namun pemerintah harus memastikan misi ini dipahami secara tepat dan tidak disamakan dengan misi penjaga perdamaian (peacekeeping).

Pakar Hubungan Internasional ini  menjelaskan, misi stabilisasi memiliki karakter berbeda dari peacekeeping. 

“Kalau peacekeeping kan ada kesepakatan yang dijaga. Kalau stabilisasi itu memastikan kondisinya menjadi lebih stabil, lebih damai, lebih tenang. Nah, itu kadang-kadang dia harus aktif, jadi tidak selalu pasif, tidak selalu defensif,” ujarnya saat ditemui usai sambutan dalam diskusi publik bertajuk 'Ruang Gelap Distribusi Bantuan Kemanusiaan di Tengah Gencatan Senjata' di Auditorium Komunikasi FISIP UI, Depok, Kamis (20/11/2025).

Karena itu, menurutnya, pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan secara matang bentuk kontribusinya. 

“Siapa yang akan dikirim di kita? Kalau TNI, bagian mana dari TNI yang dikirim? Apakah itu combat atau non-combat? Nah, itu yang penting sebetulnya," ucapnya. 

"Jadi, klarifikasi-klarifikasi itu yang dibutuhkan agar tadi tidak ada concern tentang nanti kalau kita ketemu dengan Hamas gimana dan seterusnya. Jadi, arahnya lebih ke sana sih," katanya. 

Broto menekankan bahwa mandat PBB pada dasarnya memberi ruang bagi Indonesia untuk ikut serta. Namun keputusan akhir tetap membutuhkan detail teknis terkait peran, batasan, dan aturan operasi bagi pasukan Indonesia.

Dari sisi kemanusiaan, Broto menilai konsep dasar Pasukan Stabilisasi yang diikuti dengan proses rekonstruksi merupakan langkah positif. Namun keberhasilan misi ini hanya mungkin tercapai jika masyarakat Gaza dilibatkan secara nyata.

“Kalau tidak dilakukan dengan hati-hati dan tidak melibatkan publik Gaza sendiri, tidak akan berhasil,” katanya. 

Ia menegaskan bahwa Gaza memiliki struktur sosial yang unik, dengan ikatan kesukuan dan kekeluargaan yang sangat kuat. Karena itu, siapapun yang akan terlibat dalam rekonstruksi harus memastikan ada mitra lokal yang kredibel dan diterima masyarakat.

Ia juga mengingatkan bahwa wilayah Gaza tidak sepenuhnya didominasi satu kelompok. Karena itu, representasi dari berbagai kelompok, termasuk Hamas, tidak bisa dikesampingkan. 

“Mereka bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Gaza. Jadi, mereka tetap harus di-engage. Harus tetap diajak bicara untuk tahu kontennya apa, maunya apa, dan seterusnya,” ujarnya.

Meski struktur lembaga-lembaga rekonstruksi seperti Pusat Koordinasi Sipil-Militer (CMCC) hingga stabilization post telah disiapkan dalam skema Dewan Keamanan, Broto menilai hal tersebut tidak cukup tanpa kehadiran pemimpin lokal. 

“Kalau tidak ada orang lokal yang juga terlibat di dalamnya, mewakili kelompok-kelompok yang ada di situ, ya akan sulit,” tegasnya.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |