Taufik Budi , Jurnalis-Kamis, 14 November 2024 |22:29 WIB
Pemburu yang kini jadi fotografer burung (Foto: Okezone/Taufik Budi)
KENDAL - Kisah pertobatan tumbuh di lereng Gunung Ungaran, seiring kicau burung yang perlahan kembali terdengar. Supolo, atau akrab disapa Kang Polo, dulu dikenal sebagai pemburu andal di Dusun Gunungsari, Desa Ngesrep Balong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Di usia 44 tahun, ia mengisahkan perjalanan batinnya dari sosok yang gemar menembak burung hingga satwa langka lainnya, beralih menjadi penjaga setia alam. Sebelumnya, tak ada yang luput dari bidikan senapannya, hingga suara dentuman senapan menjadi lagu hariannya.
"Dulu, ada hewan apa saja yang bergerak, saya tembak. Burung-burung mapun satwa lain juga saya buru," katanya dengan lirih, sembari menatap pepohonan hutan Ngesrepbalong, Minggu (10/11/2024).
Tetapi waktu terus berjalan. "Pagi itu, saya terbangun dan tak lagi mendengar nyanyian burung. Seakan hutan pun berkabung," kenang Kang Polo, suaranya bergetar.
Kehampaan itu menjadi tamparan keras baginya. Di balik keheningan yang menusuk, Kang Polo mulai memahami, satwa-satwa itu pergi bukan tanpa sebab. Sebagaimana dirinya yang kehilangan orang tua sejak kecil, anak-anak burung pun menjadi yatim piatu karena ulahnya.
"Jika induknya mati, anaknya juga akan kebingungan. Sama seperti saya yang sudah ditinggal orangtua sejak kecil," gumamnya pelan.
Kesadaran itu menuntunnya menapaki jalan baru. Perlahan, ia meninggalkan senapannya, memilih jalan damai bersama alam. Sebuah sinar harapan datang ketika ia bergabung dengan program Julang Emas yang digagas oleh PLN Indonesia Power dan Universitas Negeri Semarang (Unnes).
"Kami diajak melihat alam dengan cara yang berbeda. Kini, saya berburu, tetapi dengan kamera. Setiap jepretan adalah kisah yang abadi, momen yang terekam tanpa darah tertumpah," katanya, matanya berbinar.
Menembak dengan kamera, menurut Kang Polo, menghadirkan keindahan yang tak lekang oleh waktu. Setiap ke hutan, kini selalu berbekal tas ransel yang berisi kamera dengan lensa sangat panjang, tripod, lampu senter, hingga sebotol air mineral.
"Saat senapan meledak, segalanya berakhir. Tapi dengan kamera, kenangan tetap hidup. Kita bisa kembali ke momen itu kapan saja," ujarnya penuh semangat.
Kini, ia menjadi garda depan dalam pelestarian burung-burung langka di Gunung Ungaran, terutama Julang Emas yang mulai bersarang di bulan September hingga akhir Oktober. Kang Polo juga mengenali pohon-pohon besar yang menjadi tempat burung Julang Emas bersarang.
“Kalau mau motret, biasanya saya harus dari jarak yang jauh. Karena kalua dekat, burung itu kabur. Karakter burung tersebut sangat perasa, bahkan ketika mau memberi makan anaknya dan melihat ada orang, burung itu akan kabur meninggalkan anaknya,” jelasnya.
Di sekitarnya, kicauan burung Bulbul, Sepah, dan Pijantung kembali mewarnai udara, meski populasinya belum pulih seperti dulu. "Kami tak ingin anak-anak kita tumbuh di hutan yang sunyi. Hutan ini harus kembali bernyanyi," tekadnya menguat.
Untuk memantau satwa, Kang Polo dan timnya memasang kamera trap—perangkat yang merekam gerak-gerik hewan tanpa mengganggu habitat mereka. "Ada kijang, burung paok pancawarna, hingga kadal hutan yang melintas di depan lensa. Setiap video yang terekam seperti percakapan diam antara kami dan mereka," katanya, penuh rasa syukur.
Awalnya, ia dan beberapa pemburu lain membentuk kelompok konservasi bernama Pohon Asuh. Dibimbing Unnes dan PLN Indonesia Power, mereka bertransformasi dari perusak menjadi pelindung. Perjuangan mereka bahkan menarik perhatian wisatawan dari Amazon, Amerika, yang datang khusus untuk pengamatan burung.
"Kisah hutan ini sampai ke seberang lautan. Kami bangga, namun tanggung jawab kami juga semakin besar," ucapnya.
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita nasional lainnya