Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengkritik keras rencana pemerintah menaikkan tarif royalti nikel.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengkritik keras rencana pemerintah menaikkan tarif royalti nikel. (Foto: MNC Media)
IDXChannel - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengkritik rencana pemerintah menaikkan tarif royalti tambang, termasuk nikel. Kenaikan royalti tersebut dinilai menambah beban perusahaan di tengah harga nikel yang belum pulih.
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey mengatakan, produsen nikel di Indonesia tengah dihadapkan pada kenaikan beban operasional sementara harga nikel belum pulih. Akibatnya, margin yang diperoleh semakin tipis dan mengurangi kelayakan usaha.
Sebelum muncul rencana kenaikan royalti, kata dia, pengusaha tambang juga memperoleh tambahan beban pada tahun ini seiring kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Pasalnya, alat berat tambang yang digunakan untuk operasional dikategorikan barang mewah sehingga terdampak kenaikan PPN.
"Kalau kami dibebankan lagi (kenaikan royalti), tentu perusahaan akan berpikir akan melanjutkan produksi atau ini. Ini tentu menjadi kendala kita," ujarnya dalam Market Review IDXChannel, Selasa (11/3/2025).
Selain royalti dan PPN, kata Meidy, sederet kebijakan baru dari pemerintah juga membebani produsen nikel. Salah satunya kebijakan biodiesel 40 (B40) yang menambah beban operasional, terutama bahan bakar karena harganya lebih tinggi daripada B30.
Meidy juga menyoroti kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk Sumber Daya Alam (SDA) yang mewajibkan perusahaan menyimpan pendapatan dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan. Plus, kebijakan Global Minimum Tax (GMT) yang naik menjadi 15 persen semakin menambah berat kinerja keuangan.
Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menaikkan royalti untuk enam komoditas tambang yang mencakup batu bara, perak, timah, tembaga, emas, dan nikel. Untuk nikel, bijih nikel yang sebelumnya diterapkan tarif tunggal 10 persen bakal dikenakan tarif progresif antara 14-19 persen sesuai harga acuan.
Sementara, nickel matte dan feronikel masing-masing aik dari tarif tunggal 2 persen menjadi tarif progresif mulai 4,5-6,5 persen dan 5-7 persen sesuai harga acuan. Sedangkan nikel pig iron naik dari 5 persen menjadi tarif progresif mulai 5-7 sesuai harga acuan.
Meidy menilai, saat ini harga nikel di pasar global juga belum pulih, bahkan cenderung mengalami penurunan sejak 2024. Kondisi ini membuat perusahaan sulit menaikkan pendapatan sementara beban usaha terus naik akibat kebijakan pemerintah.
"Kalau harga (nikel) memang dari tahun kemarin sampai tahun ini belum ada peningkatan yang cukup berarti, tentu kita harus berpikir bahwa ujungnya kita cari cuan atau margin untuk pengusaha dan negara," kata Meidy.
Oleh karena itu, dia bakal memberikan masukan kepada pemerintah terkait rencana kenaikan royalti tersebut. Jangan sampai kenaikan tarif justru akan merugikan pelaku usaha dan negara.
(Rahmat Fiansyah)