Konflik Rusia-Ukraina 2025 sangat bergantung pada dinamika politik di AS, konsistensi dukungan Eropa, dan kemampuan Ukraina bertahan secara ekonomi dan militer.
Seorang pajurit Ukraina berada di medan pertempuran dengan bendera nasional Ukraina berkibar di depannya (ilustrasi). (Foto: Pixabay)
IDXChannel – Konflik Rusia-Ukraina menjadi salah satu isu geopolitik paling signifikan di abad ke-21. Perang antara dua negara serumpun itu mempunyai dampak yang meluas di bidang keamanan global, ekonomi, dan hubungan diplomatik internasional.
Dalam setahun ke depan, dinamika konflik ini kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting, termasuk perubahan kepemimpinan di Amerika Serikat, kebijakan energi di Eropa, dan posisi strategis Rusia di panggung internasional.
Kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden AS 2024, yang diiringi dengan retorikanya tentang pengurangan bantuan ke Ukraina dan peninjauan ulang keterlibatan AS dalam NATO, dapat menggeser keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut. Di sisi lain, berakhirnya perjanjian transit gas Rusia melalui Ukraina ke Eropa berpotensi memperburuk ketegangan ekonomi, baik di Ukraina maupun di negara-negara Eropa yang masih bergantung pada energi Rusia.
Dalam konteks ini, proyeksi ini menganalisis kemungkinan dampak dari faktor-faktor tersebut, termasuk peran Uni Eropa sebagai pendukung utama Ukraina dan peninggalan kebijakan Presiden Joe Biden yang selama ini memprioritaskan aliansi transatlantik. Dengan mempertimbangkan berbagai skenario, analisis ini berusaha membaca kemungkinan arah konflik Rusia-Ukraina pada 2025.
Kemenangan Donald Trump di Pilpres AS 2024
Jika Trump menghentikan atau mengurangi bantuan militer dan ekonomi, Ukraina akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan diri. Bantuan dari AS mencakup senjata canggih, pelatihan militer, dan dukungan logistik yang krusial bagi upaya perlawanan Ukraina terhadap Rusia.
Dampak langsung ketika skenario itu terjadi, Ukraina kemungkinan harus mencari dukungan tambahan dari Uni Eropa (UE) atau negara-negara lain seperti Inggris dan Kanada. Akan tetapi, UE sendiri juga menghadapi keterbatasan anggaran dan perpecahan politik di antara negara anggotanya.
Sementara Rusia akan melihat kondisi ini sebagai peluang untuk meningkatkan tekanan militer atau mempercepat negosiasi yang menguntungkan.
Trump beberapa kali mengeluarkan “ancaman” untuk menarik AS keluar dari NATO. Jika Trump mengurangi dukungan AS untuk NATO, ini bisa melemahkan aliansi transatlantik, membuat beberapa negara anggota merasa rentan terhadap ancaman Rusia. Rusia mungkin akan menggunakan celah ini untuk memperluas pengaruhnya di Eropa Timur dan meningkatkan tekanan terhadap Ukraina.
Berakhirnya perjanjian transit gas Rusia ke Eropa via Ukraina
Perjanjian transit gas antara Rusia dan Ukraina yang berakhir pada 2024 menjadi elemen penting dalam hubungan ekonomi kedua negara dan ketergantungan Eropa pada energi Rusia.
Pada Rabu (1/1/2025) lalu, raksasa energi Rusia Gazprom mengumumkan pihaknya tak bisa lagi memasok gas ke Eropa melalui Ukraina. Perusahaan itu menyatakan tidak memiliki kapasitas teknis maupun hukum untuk melanjutkan pengiriman gas ke Benua Biru dengan berakhirnya perjanjian dengan Naftogaz Ukraina.
Pihak berwenang Ukraina sebelumnya juga berulang kali menyatakan bahwa mereka memang tidak berencana untuk memperpanjang perjanjian tersebut. Jika perjanjian tidak diperpanjang, Ukraina akan kehilangan pemasukan transit yang signifikan, yang dapat melemahkan ekonominya.
Bagi Eropa, hal ini juga dapat menimbulkan masalah baru. Meski Eropa telah berupaya diversifikasi sumber energinya, banyak negara (terutama di Eropa Tengah dan Timur) masih rentan terhadap gangguan pasokan gas dari Rusia. Situasi ini dapat dimanfaatkan Rusia untuk memperlemah dukungan Eropa terhadap Ukraina.
Sementara Rusia akan semakin fokus pada jalur alternatif, seperti pipa Nord Stream (meskipun terganggu oleh sabotase) atau jalur TurkStream melalui Turki.
Posisi terkini Uni Eropa
UE telah menunjukkan dukungan besar bagi Ukraina melalui bantuan keuangan, sanksi yang bertubi-tubi terhadap Rusia, dan pengiriman senjata. Namun, kesenjangan antara anggota UE mengenai sejauh mana mereka harus terlibat terus menjadi tantangan.
Beberapa negara anggota UE mungkin menghadapi tekanan domestik untuk mengurangi keterlibatan mereka karena dampak ekonomi konflik.
Selain itu, adanya krisis politik internal juga menjadi sandungan lainnya bagi UE untuk melanjutkan bantuan mereka kepada Kiev. Naiknya partai-partai populis ke panggung kekuasaan di negara-negara seperti Polandia, Hungaria, dan Italia dapat melemahkan konsensus Eropa dalam mendukung Ukraina.
Meski UE telah mengurangi impor energi Rusia, beberapa negara masih rentan terhadap krisis energi. Rusia bisa menggunakan ini untuk memperburuk perpecahan politik di UE.