PLTN Indonesia Beroperasi 2032, Mungkinkah?

7 hours ago 2

Jakarta -

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sedang merancang Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) dan Rencana Umum Kelistrikan Nasional (RUKN).

Kedua rencana kebijakan energi nasional ini antara lain menyebutkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) diharapkan mulai beroperasi di Indonesia pada 2032. Tujuh (7) tahun lagi dari sekarang.

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi sebagian publik di Tanah Air: Mungkinkah rencana itu akan terealisasi tepat waktu?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tahun 2032 hanya berjarak 7 tahun dari tahun ini, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk implementasi PLTN sejak persiapan tapak hingga komisioningreaktor pertama (unit-1) membutuhkan waktu minimal 8 tahun.

Ini pun hanya berlaku bila desain reaktornya telah memenuhi kriteria teknologi teruji (proven technology) sebagai persyaratan seperti diatur di Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.

Sebagian pakar teknologi reaktor nuklir menyatakan bahwa jangka waktu itu mungkin dapat dipersingkat, karena tersedia jenis reaktor SMR (Small Modular Reactors), yang ditawarkan beberapa penyedia (vendor) PLTN. Jenis reaktor ini mempunyai waktu konstruksi lebih cepat, yaitu 3 hingga 5 tahun, dibandingkan jenis reaktor konvensional (berdaya keluaran besar, di atas 1-GWe).

Namun, yang tidak banyak diketahui publik di Indonesia adalah reaktor jenis SMR ini, terutama yang dibangun di atas daratan (land base), belum memenuhi ketentuan sebagai teknologi teruji. Selain itu, belum cukup banyak desain SMR berstatus sudah siap dibangun (deployable) dalam waktu dekat, minimal 5 tahun dari sekarang.

Agar publik mendapat informasi yang benar dan meyakinkan tentang rencana pemerintah untuk merealisasikan operasi PLTN pada 2032, maka harus dijelaskan dengan benar dan mudah tentang bagaimana sesungguhnya proses implementasi PLTN, mulai dari pemilihan tapak hingga komisioning, sebelum akhirnya energi yang dihasilkan di PLTN tersebut didistribusikan oleh PT PLN (Persero) kepada masyarakat

Proses dan Jangka Waktu

Berdasarkan praktik umum dan pengalaman beberapa negara (embarking countries) yang berhasil mengimplementasi proyek PLTN pertama, proses utama dan jangka waktu implementasi PLTN, sebelum daya (energi listrik) keluarannya didistribusikan kepada msyarakat melalui sistem transmisi kelistrikan, adalah sebagai berikut:

1. Evaluasi Tapak dan Persetujuan Desain

Sesuai peraturan, sebelum melakukan evaluasi tapak, pihak pemohon harus mendapat persetujuan evaluasi tapak terlebih dulu dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir RI (BAPETEN). Setelah persetujuan diterbitkan, pemohon izin melakukan aktivitas evaluasi tapak dan hasilnya harus disampaikan ke Badan Pengawas sebagai bagian dari permohonan izin tapak. Selanjutnya, BAPETEN akan melakukan penilaian (review) untuk menentukan apakah mengeluarkan izin atas tapak yang dimaksud atau tidak.

Secara paralel, meski tidak selalu, calon operator PLTN harus mengajukan permohonan persetujuan desain reaktor ke BAPETEN. Desain tersebut terdiri atas Desain Dasar (basic design) dan Desain Rinci (detailed design). Namun pada umumnya, desain secara resmi akan diterima oleh calon operator, setelah penandatangan kontrak pembelian (procurement) dilakukan antara calon operator dan pihak penyedia PLTN.

Kegiatan evaluasi tapak, penilaian permohonan izin tapak, dan penilaian persetujuan izin desain memakan waktu 1 hingga 3 tahun, bergantung pada hal-hal teknis yang dapat mempengaruhi proses tersebut. Setelah persetujuan desain di atas diterbitkan BAPETEN, maka barulah pemohon izin dapat mengajukan permohonan izin konstruski reaktor berdasarkan desain yang telah disetujui.

2. Konstruksi

Kegiatan konstruksi reaktor nuklir di atas tapak dapat dilakukan setelah pemohon mendapat izin konstruksi. BAPETEN umumnya membutuhkan waktu 1 - 2 tahun untuk menilai dokumen permohonan izin konstruksi hingga izin konstruksi diterbitkan.

Secara umum, konstruksi untuk 1 unit reaktor membutuhkan waktu 5 - 8 tahun, dengan variasi waktu yang bergantung pada jenis reaktor dan desain kapasitas daya keluaran reaktor (Mega-Watt-electric/Mwe). Jika terjadi gangguan selama masa konstruksi, sangat mungkin konstruksi akan mengalami perlambatan (delay) dari waktu yang direncanakan.

Memang ada opsi jenis reaktor modular, yaitu SMR (Small Modular Reactors), yang memungkinkan mempersingkat waktu konstruksi. Namun, di sisi lain, masih terdapat kendala peraturan di Tanah Air, karena Indonesia hanya mengizinkan pembangunan reaktor dengan desain memenuhi kriteria teknologi teruji, sedangkan ketersediaan desain SMR yang telah memenuhi kriteria tersebut saat ini masih sangat terbatas.

3. Komisioning (Uji Fungsi Sistem)

Secara teknis, sebelum siap dioperasikan, harus dilakukan komisioning pada reaktor nuklir. Komisioning adalah aktivitas pengujian reaktor nuklir untuk memastikan seluruh sistem dan komponen berfungsi dengan baik dan sesuai desain. Komisioning dingin (uji fungsi pada suhu dan tekanan rendah) dan komisioning panas (uji fungsi pada suhu dan tekanan operasi pada kapasitas daya keluaran maksimum) tanpa bahan bakar nuklir, harus dilakukan untuk menjamin reaktor beroperasi dengan selamat di masa selanjutnya. Komisioning ini normalnya memerlukan waktu 3 - 12 bulan, tergantung variabel daya reaktor, proses regulasi, dan kesiapan teknis.


4. Uji Kritikalitas Awal dan Uji Daya Rendah

Setelah komisioning berhasil dilakukan dan bahan bakar nuklir dimasukkan ke dalam teras reaktor, proses selanjutnya adalah uji kritikalitas awal (first criticality test) dan uji operasi daya rendah (low power test). Hal ini dilakukan sebelum akhirnya reaktor nuklir dioperasikan benar-benar dengan daya penuh (kapasitas daya maskimal) dan produksi listriknya disalurkan ke luar PLTN melalui sistem transmisi. Kedua jenis uji tersebut rata-rata memerlukan waktu antara 1 - 3 bulan.

Mencermati semua proses (tahapan utama) yang harus dilakukan, sejak kebijakan Go Nuclear diterbitkan pemerintah hingga reaktor nuklir dapat beroperasi dan menghasilkan energi listrik yang ditransmisikan kepada masyarakat, penulis berpandangan setidaknya membutuhkan waktu 8 - 12 tahun untuk operasional PLTN pertama di Indonesia.

Selain itu, jika mempertimbangkan faktor-faktor lain yang turut memberikan ketidakpastian (uncertainty) --seperti kendala proses bisnis, legal bilateral antara Indonesia dan negara vendor, kekurangsiapan infrastruktur energi nuklir dalam negeri, dan turbulensi ekonomi-politik dalam negeri, maka ada kemungkinan jangka waktu operasional PLTN di Indonesia mundur.

Karena itu, keinginan PLTN di Indonesia beroperasi pada 2032, yang artinya hanya tersedia waktu sekitar 7 tahun dari sekarang, adalah tidak realistis. Penulis tidak bermaksud menyangsikan sikap optimistis berbagai pihak, terutama pemangku kepentingan di pemerintahan saat ini. Namun sikap optimistis harus lah diimbangi dengan sikap realistis, karena sistem pengawasan yang ada dan teknologi saat ini mengharuskan kita berpikir dan bertindak tidak hanya strategis, tapi juga realistis.

Seperti pertanyaan yang diajukan di awal, apakah mungkin PLTN pertama Indonesia dapat beroperasi pada 2032?
Dengan mempertimbangkan jangka waktu yang dibutuhkan seperti penjelasan di atas, penulis berpendapat sangat kecil kemungkinan hal itu (PLTN di Indonesia) terwujud.

Namun demikian, program yang punya manfaat besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia ke depan ini, harus tetap mendapat perhatian serius, dibarengi sikap optimistis dan realistis dari segenap pemangku kepentingan.
Kini, saatnya semua pihak (pemangku kepentingan di pemerintahan) duduk bersama dan memikirkan strategi terbaik untuk menyukseskan program PLTN, yang mungkin akan segera digulirkan Presiden Prabowo.
Bravo PLTN Pertama Indonseia!

Ismail,

Inspektur Safeguards Nuklir IAEA Tokyo Regional Office, Jepang

(hns/hns)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |