REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap 43 detik, sebuah nyawa kecil padam. Sebuah permainan yang terhenti, sebuah tawa yang sirna, bukan karena bencana alam atau kecelakaan dahsyat, melainkan oleh sebuah "pembunuh" senyap yang bernama pneumonia. Di Indonesia, pertarungan melawan penyakit ini adalah perlombaan melawan waktu yang sering kali dimenangkan oleh kematian.
Dr. dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A, Subsp.Resp(K), Ketua UKK Respirologi IDAI, dengan tegas menyatakan bahwa dalam pertarungan ini, kecepatan adalah segalanya. Kecepatan penanganan pneumonia pada anak bukan hanya tentang kesembuhan, tetapi tentang sebuah pilihan biner yang menyayat hati: hidup, atau mati.
Sayangnya, jalan menuju keselamatan itu seringkali terhalang oleh jurang ketimpangan. Bayangkan seorang ibu di daerah terpencil, dengan anaknya yang panas tinggi dan napas tersengal, harus menempuh perjalanan berjam-jam ke rumah sakit. Itulah realitas yang memilukan.
Faktor penghambatnya nyata dan berlapis. "Akses kesehatan yang jauh, keterbatasan oksigen, dan ketersediaan obat menjadi mata rantai yang memperpanjang daftar korban," ujar Nastiti dalam sebuah diskusi daring di Jakarta. Mata rantai inilah yang membuat angka kematian pneumonia sulit sekali ditekan.
Setiap keterlambatan memiliki konsekuensi yang fatal. Dokter Nastiti memaparkan sebuah statistik yang memilukan: setiap 43 detik, seorang anak di dunia meninggal karena pneumonia. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari ribuan tragedi kemanusiaan yang terjadi silih berganti.
Penyebabnya beragam, mulai dari bakteri mematikan seperti streptococcus pneumonia (pneumococcus), hingga virus-virus ganas seperti RSV dan influenza. Para "musuh" ini menyerang tanpa pandang bulu, namun dampaknya paling menghancurkan di negara berkembang.
Di Indonesia, akar masalahnya seringkali terletak pada keterlambatan. Keterlambatan dibawanya anak ke rumah sakit menjadi titik kritisnya. Dan di balik keterlambatan ini, seringkali berdiam sebuah ketidaktahuan.
Banyak orang tua yang tidak mampu mengenali gejala bahaya pneumonia. Penyakit ini kerap menyamar sebagai batuk pilek biasa, membuat banyak keluarga lengah hingga kondisi anak memburuk dengan cepat.
Lalu, bagaimana membedakan batuk pilek biasa dengan pneumonia yang mematikan? Perhatikanlah napas si kecil. Jika napasnya terlihat cepat dan dangkal, itu adalah alarm pertama. Jika anak terlihat lesu, lemah, dan tidak semangat bermain, itu adalah alarm kedua.
sumber : Antara
.png)
1 hour ago
1















































