Jakarta -
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerima 20.942 pengaduan dari konsumen sejak 2022 hingga 2025. Sebanyak 19.428 aduan atau 92,70% merupakan pengaduan terkait e-commerce.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag Moga Simatupang mengatakan terdapat permasalahan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. Menurut Moga, seiring dengan perkembangan teknologi, banyak perkembangan permasalahan konsumen, seperti fenomena e-commerce yang semakin berkembang, kasus pinjaman online, banyaknya penipuan atau scam jenis baru, masifnya barang ilegal, dan barang palsu.
"Hingga Maret 2025 jumlah pengaduan konsumen meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya sejak tahun 2022 hingga 2025 tercatat 20.942 pengaduan yang masuk ke Kementerian Perdagangan yang 92,70%-nya atau 19.428 pengaduan adalah pengaduan terkait e-commerce," kata Moga dalam Rapat Panja Penyusunan Naskah Akademik dan RUU Tentang Perlindungan Konsumen bersama Komisi VI DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nilai Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) pada 2024 sebesar 60,11 poin. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen Indonesia sudah berada dalam kategori kritis atau dapat berperan aktif memperjuangkan hak dan melaksanakan kewajibannya serta mengutamakan produk dalam negeri.
Moga menyebut, angka ini naik dari tahun sebelumnya sebesar 57,04 poin. Meski begitu, Moga menilai konsumen masih belum banyak berani mengadukan komplain.
Moga menilai mekanisme dan saluran penyelesaian sengketa konsumen sudah ada. Sayangnya, belum efektif karena adanya putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang masih bisa diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Selain itu, belum adanya saluran pengaduan serta penyelesaian sengketa yang terintegrasi dan mudah terjangkau oleh konsumen karena ada beberapa sengketa konsumen yang masih dilayani per sektor.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Untuk itu, Moga menilai diperlukannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (RUUPK) terus dibahas dan diperbarui.
"Isu-isu seperti maraknya penipuan transaksi dari penyelenggaraan data pribadi peredaran barang ilegal dan tidak sesuai standar serta minimnya pemahaman konsumen terhadap hak-hak menjadi tantangan yang semakin nyata. Oleh karena itu, dibutuhkan pembaruan kebijakan perlindungan konsumen yang tidak hanya responsif terhadap dinamika ekonomi digital tapi juga mampu memperkuat peran negara untuk menciptakan sistem perdagangan yang adil dan transparan. Kami sangat mendukung adanya RUUPK baru," imbuh Moga.
(rea/ara)