Petani garam di Kuwu, Grobogan, sedang menjemur air asin di bilah-bilah bambu pada 1939. Garam Kuwu membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijadwalkan berkunjung ke Grobogan untuk pertama kalinya. Namun, mengapa ia justru ke Cepu? Sumber: bredasche courant
Ada 4.600 petani garam di Grobogan. Mereka menghidupi sekitar 13 ribu jiwa anggota keluarga mereka dari garam yang mereka produksi.
Di luar itu, ada pula ratusan penjual bambu yang bambunya diperlukan dalam proses pembuatan garam dan penjual batang kelapa yang batangnya digunakan untuk tanggul sumur air asin. Dalam setahun, produksi garam darat di Grobogan menghasilkan 172 ribu gulden.
Jika pemerintah kolonial memberlakukan monopoli garam, habis sudah kehidupan mereka. Maka, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, pada Maret 1939 dijadwalkan berkunjung ke Grobogan, tapi puluhan ribu penduduk kecewa, karena ia memilih langsung ke Cepu.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Di Grobogan ada beberapa desa yang penduduknya memproduksi garam. Ada sumber air asin yang oleh penduduk diambil air asinnya lalu dijemur di bilah batang bambu hingga menjadi garam. Produksi garam di Grobogan dijual ke berbagai daerah, tidak hanya di Grobogan.
Ini mengganggu monopoli produksi garam yang dikuasai oleh pemerintah kolonial. SUmber air asin itu menurut cerita legenda berkaitan dengan jalan bawah tanah yang digunakan oleh Joko Linglung ketika harus melawan Buaya Putih di Laut Selatan.
Joko Linglung adalah anak dari Prabu Aji Saka, penguasa di Kerajaan Medang Kamulan, yang dipercaya oleh masyarakat Grobogan lokasinya ada diwilayah Grobogan sekarang. Sedangkan Buaya Putih adalah jelmaan dari Prabu Dewatacengkar, penguasa Medang Kamulan sebelumnya, yang suka memakan manusia, yang kemudian dikalahkan oleh Aji Saka.
Karena lewat bawah permukaan tanah, Joko Linglung sering muncul ke permukaan untuk melihat tepat tidaknya arah yang ia tuju. Jalur-jalur itulah yang dipercaya sebagai jalur air asin dari Laut Selatan, yang kemudian dimanfaatkan oleh penduduk Grobogan untuk memproduksi garam.
Tak mungkin melarang penduduk memproduksi garam, maka yang dilakukan pemerintah kolonial adalah mengenakan pajak, sejak zaman Raffles berkuasa. Pada 1939, pajak itu mencapai 100 ribu gulden, tetapi dianggaonya sebagai pajak sewa tanah.
Grobogan merupakan wilayah miskin, yang sering mengalami kekeringan dan banjir. Paceklik sering terjadi, dan justru para petani garam terhindar dari paceklik karena produksi garam terus berlangsung.
Kendati begitu, tak pernah satu pun gubernur jenderal mengunjungi Grobogan. Baru Tjarda inilah, gubernur jenderal ke-69 yang bersedia berkunjung.
Sebelum berangkat ke Grobogan, Tjarda menginap di Semarang. Namun, Sabtu pagi, Tjarda justru langsung berangkat ke Cepu, kota kecil di wilayah Blora, yang berada di sebelah timur Grobogan.
Sabtu pagi itu, seharusnya Tjarda berangkat ke Grobogan. Setelah selesai urusan di Grobogan, jadwal selanjutnya adalah ke Cepu.
.png)
3 hours ago
2










































