Efek Domino Tarif AS pada Stabilitas Makroekonomi RI, Rupiah Melemah hingga Modal Asing Kabur

4 hours ago 2

Tekanan global tersebut mulai tercermin dari penurunan harga berbagai komoditas utama.

 iNews Media Group.

Efek Domino Tarif AS pada Stabilitas Makroekonomi RI, Rupiah Melemah hingga Modal Asing Kabur. Foto: iNews Media Group.

IDXChannel - Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) tidak hanya berdampak langsung terhadap kinerja ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam, tetapi juga menimbulkan implikasi luas terhadap stabilitas makroekonomi domestik. 

Riset terbaru Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia betajuk "Manuver Strategis Indonesia Menghadapi Badai Tarif Resiprokal" menilai pendekatan perdagangan unilateral yang diusung Presiden AS Donald Trump berisiko memperlambat aktivitas ekonomi global, terutama karena dinamika dan kemungkinan munculnya tarif balasan dari negara-negara mitra masih terbuka lebar.

"Situasi ini menciptakan ketidakpastian yang menghambat arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan, termasuk Indonesia," ujar Research Associate Professor CORE Indonesia, Sahara, melalui keterangan tertulis, Sabtu (19/4/2025). 

Tekanan global tersebut mulai tercermin dari penurunan harga berbagai komoditas utama. Per 10 April 2025, harga minyak dunia, baik West Texas Intermediate (WTI) maupun Brent Crude, telah terkoreksi masing-masing sebesar 1,32 persen dan 1,42 persen.

Penurunan ini juga diikuti komoditas lainnya seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batu bara, dua komoditas ekspor yang menjadi unggulan Indonesia.

Kombinasi antara tekanan tarif dan pelemahan harga komoditas ini semakin memperburuk kinerja neraca perdagangan Indonesia.

Dari sisi domestik, penurunan ekspor ke AS, terutama pada sektor-sektor padat karya seperti tekstil, elektronik, dan alas kaki, berpotensi mendorong produsen untuk memangkas produksi dan merumahkan pekerja.

Kondisi ini menyebabkan menurunnya pendapatan rumah tangga dan melemahnya daya beli masyarakat. Di saat yang sama, penurunan penerimaan devisa akibat ekspor yang lesu juga memberikan tekanan tambahan terhadap nilai tukar rupiah. 

"Depresiasi rupiah berdampak pada kenaikan harga barang impor dan memicu tekanan inflasi, yang pada akhirnya turut menekan konsumsi domestik sebagai salah satu komponen utama pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata Sahara.

Dari sisi moneter, kebijakan tarif resiprokal juga membawa risiko tambahan melalui transmisi global. 

Kenaikan harga barang impor di Amerika Serikat akibat tarif dapat mendorong inflasi yang kemudian memaksa Federal Reserve (The Fed) melakukan penyesuaian suku bunga guna menjaga stabilitas ekonomi. 

Kenaikan suku bunga The Fed akan memperkuat nilai dolar AS dan menyebabkan aliran modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, seiring pergeseran investor global ke aset-aset yang lebih aman dan berimbal hasil tinggi di AS.

Tekanan terhadap rupiah terlihat jelas dalam pergerakan nilai tukar dalam sebulan terakhir.

Pada 28 Maret 2025, nilai tukar rupiah berada di level Rp16.572,6 per dolar AS (USD), sempat menguat tipis ke Rp16.560 pada 1 April, namun kemudian melemah hingga menyentuh level Rp17.199,2 pada 7 April. 

Fluktuasi signifikan ini mencerminkan tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global serta sentimen negatif terhadap prospek ekonomi negara berkembang.

Jika tren depresiasi rupiah terus berlanjut, tekanan inflasi dari sisi harga barang impor akan semakin tinggi. 

Dalam skenario ini, Bank Indonesia berpotensi mengubah arah kebijakan dari semula pro-growth menjadi lebih fokus pada stabilisasi harga dan nilai tukar. 

Meskipun kebijakan ini penting untuk menjaga kepercayaan pasar, langkah tersebut dapat memperlambat pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, terutama di tengah upaya pemerintah mendorong investasi dan konsumsi.

Tekanan dari sisi fiskal pun tak terelakkan. Menurunnya ekspor dan aktivitas manufaktur bisa berdampak langsung terhadap penerimaan negara dari pajak ekspor, PPN, dan PPh badan. 

Sementara itu, depresiasi rupiah menyebabkan peningkatan beban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang didenominasikan dalam dolar AS. 

Di sisi lain, tekanan inflasi dari barang impor mendorong kebutuhan untuk memperbesar alokasi belanja sosial dan subsidi guna menjaga daya beli masyarakat. 

Kondisi ini memaksa pemerintah melakukan realokasi anggaran atau bahkan memperluas defisit, sehingga ruang fiskal untuk mendanai program pembangunan dan pemulihan ekonomi jangka menengah menjadi semakin sempit.

Halaman : 1 2

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |