Jakarta -
Kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) diprediksi akan berdampak kepada dunia usaha Indonesia, mulai dari banjirnya barang impor hingga mengakibatkan gelombang baru pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hal ini diungkapkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Wakil Ketua KPPU Aru Armando menyebutkan dampak pertama akan adanya tarif impor kepada dunia usaha Indonesia yaitu volume ekspor akan mengalami penurunan. Kondisi ini juga akan dirasakan oleh negara lain, sehingga besar potensinya Indonesia dibanjiri barang impor.
"Mungkin tekstil, elektronik, atau minyak mentah misalnya, ekspor CPO senilai US$ 1,3 miliar ke Amerika Serikat akan berkurang. Akibatnya stok CPO di dalam negeri akan mengalami peningkatan dan harga dalam negeri bisa anjlok, ini berakibat menurunnya harga tandan buah segar," kata dia dalam konferensi pers, di Kantor KPPU, Senin (5/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu disarankan pemerintah mencari pasar alternatif seperti Eropa, China, Timur Tengah atau Afrika, untuk mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat.
Banjirnya produk impor ke Indonesia juga akan berdampak kepada keberlangsungan UMKM dalam negeri. Dia memprediksi salah satu negara yang akan melakukan peralihan barang impor adalah China.
Ia menyebut peralihan impor itu juga akan dilakukan dengan penjualan harga yang lebih rendah. Hal itu dinamakan predatory pricing.
"Ketika penjualan dengan harga rendah atau harga rugi ini dilakukan. yang terjadi apa? Daya saing mereka atau produk lokal di Indonesia akan kalah bersaing. Dampaknya akan terjadi yang namanya pabrik yang tutup karena dia memang akan mengurangi produksi," tuturnya.
Penurunan ekspor, banijrnya produk impor ke Indonesia, dampak panjangnya kepada gelombang baru pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak hanya itu, pelaku usaha asing juga berpotensi melakukan akuisisi atau meger perusahaan Indonesia.
"Sehingga terjadi seperti yang tadi kami sudah sampaikan gelombang PHK akan terjadi karena turunnya produksi akibat dari oversupply barang yang dijual murah, karena upaya predatory pricing yang dilakukan," terangnya.
Untuk mengantisipasi dampak panjang dari pajak tarif, KPPU mengusulkan sejumlah strategi yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah harus mengoptimalkan peran KPPU dalam menganalisis monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akibat kebijakan tarif impor dari AS, termasuk berkonsultasi mengatasi dampak perang tarif terhadap iklim persaingan usaha domestik.
"Kedua, perlu peningkatan koordinasi dan pengawasan merger dan akusisi antara KPPU dengan pemerintah atau regulator, khususnya dengan Kementerian Hukum, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, kalau perlu kami menyarankan untuk dibentuk tim koordinasi bersama," terangnya.
Ketiga, pemerintah harus membatasi masuknya produk impor yang bersaing langsung dengan produksi domestik, khususnya pada industri padat karya dan jika perlu dibuat kebijakan. Menurutnya negara perlu berlaku tegas terhadap impor ilegal.
"Keempat, KPPU dapat memberikan relaksasi dari pendapatan persaingan usaha bagi pelaku usaha yang memproduksi untuk kebutuhan ekspor. KPPU membuka ruang bagi pelaku usaha dan asosiasi untuk berkomunikasi dan berkonsultasi ke KPPU atas hambatan persaingan usaha serta strategi yang akan dilakukan," lanjutnya.
Terakhir, meminta pemerintah agar bisa melibatkan KPPU dalam mempertimbangkan negosiasi atau agar pelaku usaha dalam negeri tetap terlindungi dan bertumbuh daya saingnya sehingga mampu menghadapi tekanan persaingan usaha d dalam maupun di luar negeri.
(ada/rrd)