Priska Yeniriatno peraih SATU Indonesia Award 2017
JAKARTA - Batik sudah lama menjadi komoditas penting di negeri ini. Nama Batik sudah ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi dan diperingati setiap tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional.
Namun, sejatinya batik tak melulu soal fashion atau industri. Sesuatu yang lebih dalam diajarkan oleh seorang Priska Yeniriatno. Wanita asal Singkawang, Kalimantan Barat yang memperkenalkan batik dengan cara yang berbeda.
Menurut wanita yang lahir pada 23 Januari 1988 ini, batik merupakan sebuah ekspresi yang bisa dicurahkan dalam sebuah kain. Batik, menurutnya terlalu dikapitalisasi dengan roman industri dan keuntungan semata. Padahal, ada sesuatu yang jauh lebih dalam dengan itu: Kita bisa bercerita melalui batik!
Priska mengenal batik saat dirinya kuliah di Yogyakarta pada medio 2010. Dengan bakat melukis dari sang ayah, dan rasa cintanya pada guratan lilin yang membentuk pola tertentu, Priska tergugah untuk mengembangkan batik dengan cara yang berbeda.
Menurutnya, batik bukanlah sebuah batik jika tidak melalui proses tertentu. Pembuatan pola, membuat corak dengan lilin, pemberian warna yang berulang kali merupakan proses yang membuat kita lebih mengenal arti batik sesungguhnya.
Baginya, batik merupakan media ekspresif untuk mencurahkan keluh kesah, kesedihan, kebahagiaan hingga sesuatu yang lebih dalam seperti corak khusus suatu daerah.
Pulang ke Rumah, Berkarya tentang Rumah
Proses membatik yang berkesan selama di Yogyakarta diteruskan dalam memoar seorang Priska. Tak mau hobi membatiknya terhenti, ia meneruskannya lagi ketika pulang ke kampung halaman di Singkawang, Kalimantan Barat.
Memoar soal batik, dan idealisme akan sebuah karya membuat Priska ingin mengambil "jalur lain" saat memperkanalkan batik. Alih-alih membuat sebuah industri percetakan batik, ia memilih untuk memperkenalkan batik melalui sarana edukasi.
Ia pun memutar otak. Bagaimana bisa memperkenalkan batik yang ideal kepada masyarakat, sedangkan banyak di antara mereka mengenal batik hanya sebagai corak cetak, yang bahkan mereka sendiri mungkin tak paham apa artinya.
Motif batik Kote Singkawang dibuatnya. Kelahiran motif ini pastinya melalui proses meditasi akan lingkungan yang mendalam. Ia berpikir bagaimana memperkenalkan Singkawang hanya dari sebuah guratan. Pada akhirnya, komtemplasinya berujung pada dua tanaman endemik di Singkawang: Anggrek dan Tengkawang!
Dua tanaman ini dirasa paling bisa mewakili kota kelahirannya, dan menunjukan identitas Singkawang sebagai kota yang masih asri dan alami. Dua tanaman ini hampir punah di habitat aslinya. Dalam diri Priska, Anggrek dan Tengkawang akan abadi jika dicurahkan melalui media batik.
Selain motif dua tanaman tadi, motif nelayan bejale, motif bunga betabur, bunga simpur susun talam adalah beberapa corak motif yang dipilih Priska untuk menggambarkan bagaimana keadaan asli rakyat tradisional Singkawang. Ia bahkan sempat membuat sebuah gerakan membuat batik dari limbah kotak nasi sebagai kampanye akan kepeduliannya terhadap lingkungan.