Akhir Kisah Raksasa Sritex (SRIL), PHK 10 Ribu Pekerja hingga Terancam Delisting

2 months ago 35

PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex resmi menghentikan operasional mulai 1 Maret 2025, menyusul putusan pailit yang berkekuatan hukum tetap dari MA.

 Sritex)

Akhir Kisah Raksasa Sritex (SRIL), PHK 10 Ribu Pekerja hingga Terancam Delisting. (Foto: Sritex)

IDXChannel – PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex resmi menghentikan operasional mulai 1 Maret 2025, menyusul putusan pailit yang berkekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung (MA).

Penutupan ini berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap 10.665 pekerja di sejumlah unit usaha Sritex Group.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan memastikan pemerintah terus berkoordinasi dengan manajemen Sritex untuk memperjuangkan hak pekerja.

Saat ini Kemnaker terus berkoordinasi dengan manajemen Sritex untuk memastikan hak-hak karyawan.

Pesangon pekerja menjadi tanggung jawab kurator, sementara jaminan hari tua diurus oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Sebelumnya, Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, Sumarno mengatakan, karyawan PT Sritex dikenakan PHK per 26 Februari 2025, terakhir bekerja pada Jumat 28 Februari. Perusahaan ditutup mulai tanggal 1 Maret 2025.

Sementara, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan Kemnaker telah berkoordinasi dengan Dinas Ketenagakerjaan di Solo dan sekitarnya untuk memetakan peluang kerja bagi 10.669 pekerja yang terkena PHK Sritex.

“Berdasarkan data terakhir, kami mendapatkan informasi bahwa ada peluang 10.666 lowongan pekerjaan di wilayah Solo dan sekitarnya dari industri garmen, plastik, sepatu, retail, makanan dan minuman, batik, dan industri jasa. Lowongan kerja ini dapat menjadi alternatif bagi semua pencari kerja termasuk karyawan yang ter-PHK," ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu (1/3/2025).

Terancam Delisting

Sritex terancam didepak dari Bursa Efek Indonesia (BEI) seiring penghentian operasional. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menyatakan bursa masih menunggu perkembangan operasional perusahaan sebelum memproses delisting.

“Setelah itu kami inquiry lewat keterbukaan informasi, kami lakukan proses seperti kunjungan, untuk kemudian nanti kami ambil tindakan," kata Nyoman saat ditemui di Gedung BEI Jakarta, Jumat (28/2/2025).

Nyoman menjelaskan, dalam menetapkan keputusan delisting, BEI perlu berkolaborasi dengan pihak ketiga, termasuk profesi penunjang pasar modal. Hal ini demi memastikan keputusan yang diambil tepat dan sesuai prosedur.

Rugi Menahun, Utang Menggunung

Dalam laporan keuangan 30 September 2024, Sritex mengalami defisiensi modal sebesar USD1,02 miliar (Rp16,92 triliun), sedangkan total asetnya USD594,01 juta (Rp9,84 triliun).

Sritex menanggung kewajiban (liabilitas) Rp1,61 miliar atau setara dengan USD26,77 triliun.

Menurut catatan Algo Research, 29 Oktober 2024, kerugian signifikan Sritex mulai terjadi pada 2021-2023 akibat pembatalan pesanan dan produk yang tidak terjual selama pandemi Covid-19, lemahnya permintaan, serta impor berlebihan dan ketatnya persaingan.

Pada puncaknya, perusahaan mencatat kerugian sebesar Rp15,36 triliun pada 2021 akibat penurunan nilai aset, dan defisit (kerugian terakumulasi) yang terus meningkat mencapai Rp21 triliun pada kuartal II-2024.

Algo Research menilai, tingginya tingkat utang SRIL juga memperburuk kondisi ini karena perusahaan belum mampu memenuhi kewajiban pembayaran seiring menurunnya pendapatan dan profitabilitas.

Karena SRIL harus berutang untuk menutupi biaya operasional, net debt-asset ratio (perbandingan total utang bersih perusahaan dengan total asetnya) meningkat dari 0,4 kali menjadi 2 kali dalam periode 2017-2024.

Hingga akhir September 2024, porsi pemegang saham publik SRIL mencapai 8,16 miliar saham atau setara 39,89 persen dari seluruh saham beredar perusahaan.

Pemegang saham SRIL tercatat sebanyak 45.866, baik institusi maupun investor ritel, hingga 31 Januari 2025.

Sekilas Tentang Stritex

Mengutip Laporan Tahunan 2023 perseroan, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) memulai perjalanannya sebagai usaha perdagangan tradisional bernama "Sri Redjeki," yang didirikan oleh H. M. Lukminto pada 1966 di Pasar Klewer, Solo.

Awalnya hanya menjual produk tekstil, perusahaan ini mulai berkembang dengan mendirikan pabrik pertama di Baturono, Solo, pada 1968, untuk memproduksi kain yang dikelantang dan dicelup.

Pada 1978, "Sri Redjeki" secara resmi berubah menjadi PT Sri Rejeki Isman.

Pada 2013 Sritex melakukan Penawaran Saham Perdana (IPO) yang mengubah statusnya menjadi PT Sri Rejeki Isman Tbk.

Seiring berjalannya waktu, Sritex berkembang menjadi produsen tekstil-garmen terintegrasi dengan lebih dari 15 ribu karyawan yang beroperasi di area seluas 79 hektar di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Perusahaan ini memiliki empat lini produksi utama, yaitu pemintalan, penenunan, pencetakan dan pencelupan, serta garmen.

Sritex melayani sejumlah peritel besar dunia seperti H&M, Walmart, K-Mart, dan Jones Apparel.

Sritex juga pernah menjadi produsen seragam tentara North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan seragam tentara sejumlah negara.

Hingga 2023, Sritex memiliki empat entitas anak yang mendukung bisnisnya, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, PT Primayudha Mandiri Jaya, dan Golden Legacy Pte Ltd.

Namun, sejak 18 Mei 2021, Sritex menghadapi tantangan besar terkait restrukturisasi anak perusahaannya, yang menyebabkan Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan suspensi perdagangan saham perusahaan hingga saat ini. (Aldo Fernando)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |