REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengaruh propaganda dan ideologi teror yang makin meluas selayaknya perlu menjadi perhatian banyak pihak. Jika dulu ideologi dan paham berbasis kekerasan kebanyakan hanya dijumpai pada kegiatan keagamaan tertentu, sekarang hal yang sama juga menyebar dengan bentuk yang lebih menyenangkan bagi anak-anak dan remaja. Masifnya sebaran konten kekerasan cukup menjadi alasan bagi semua unsur dalam ekosistem pendidikan untuk bersinergi menerapkan budaya yang luhur.
Akademisi Fakultas Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Muhammad Abdullah Darraz, menduga adanya desentralisasi dalam pola sebaran ideologi berbahaya ini.
Menurutnya, saat ini generasi muda dengan sangat mudah rentan terpapar propaganda ekstremisme berbasis kekerasan melalui berbagai platform digital. Dulu, propaganda ekstremisme banyak bergantung pada struktur hierarkis kelompok-kelompok organisasi teroris. Materi propaganda dibuat secara profesional oleh pusat media mereka dan disebarkan melalui saluran yang terbatas.
"Namun, saat ini keadaannya telah mengalami pergeseran. Propaganda kelompok radikal semakin terdesentralisasi, dalam artian diciptakan dan disebarkan oleh individu atau sel-sel kecil yang tidak selalu terikat dengan organisasi dan kelompok-kelompok teroris tertentu. Mereka menggunakan platform yang tersedia untuk semua, seperti media sosial, aplikasi pesan, dan forum game online," kata Darraz.
Dirinya pun menyayangkan pelajar atau individu lainnya di dalam ekosistem pendidikan bisa dengan mudah menjadi produsen sekaligus konsumen konten-konten bermuatan radikal dan ekstrem. Pada prosesnya hingga terpapar ideologi kekerasan, mereka tidak perlu menjadi anggota resmi suatu jaringan teroris tertentu.
Darraz menilai, banyaknya konten-konten digital dengan muatan kekerasan atau ekstremisme secara tidak langsung didukung oleh pembuatan konten yang semakin mudah. Sekarang, konten digital bisa dibuat dengan sederhana melalui meme, video pendek TikTok/Reels, thread di Twitter/X, atau obrolan di grup WhatsApp/Telegram. Format konten semacam ini sangat akrab dan menarik bagi generasi muda.
Selain maraknya konten dengan unsur kekerasan, faktor terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan bisa juga disebabkan oleh kesehatan mental pelajar yang seringkali terabaikan. "Peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta yang lalu menjadi bukti bahwa aksi teror dan kekerasan tidak melulu harus melibatkan jaringan terorisme tertentu. Aksi kekerasan atau teror bisa diinspirasi oleh berbagai ideologi, termasuk ideologi white supremacy,” ujar mantan peneliti di Ma’arif Institute ini.
Darraz yang juga dikenal sebagai pegiat anti kekerasan ini menyatakan, penyebab tindak kekerasan yang kompleks dan tidak homogen yang seringkali memanfaatkan kerentanan generasi muda. Terabaikannya mereka menghasilkan anak-anak yang menjadi “aktor” sekaligus “korban” dalam laku kekerasan. Ini harus mendapatkan perhatian khusus dalam ekosistem pendidikan di Indonesia.
“Aksi kekerasan dalam bentuk terror bisa didorong oleh faktor-faktor individu dan sosial, diantaranya adalah persoalan psikologis seperti pengucilan diri, kemarahan berlebihan, atau pernyataan yang mendukung kekerasan,” ujar Darraz.
“Pelajar yang merasa terpinggirkan, didiskriminasi, atau frustasi dengan ketidakadilan yang mereka lihat, baik secara lokal maupun global, sangat rentan. Konten ekstremis menawarkan penjelasan sederhana tentang ‘siapa yang salah’ dan memberikan cara ‘nyata’ melalui kekerasan untuk melawan, yang memuaskan kebutuhan mereka untuk bertindak dan membalas,” imbuhnya.
Darraz menegaskan bahwa area publik seperti sekolah, harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi tumbuh-kembang generasi muda. Jangan sampai ada lagi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan karena didorong oleh persoalan psikologis yang mereka alami.
Darraz berpesan agar orang tua, guru, pemerintah, dan seluruh pihak terkait bisa proaktif untuk membentuk ekosistem pendidikan yang memiliki resistensi tinggi terhadap sebaran paham yang bermuatan intoleransi dan kekerasan secara umum.
Menurutnya, ekosistem pendidikan yang ideal harus memiliki upaya preventif atau pencegahan untuk membangun ketahanan dari dalam melalui pendidikan karakter, inklusivitas, dan kesehatan mental. Selain itu, guru dan orang tua dibekali pengetahuan untuk melakukan deteksi dini demi mengenali gejala kerentanan dan paparan ideologi berbahaya. Pada akhirnya, ekosistem pendidikan bisa melakukan intervensi dengan tepat, yaitu menangani masalah dengan pendekatan suportif, bukan punitif, serta dengan melibatkan konselor, orang tua, dan komunitas.
“Dengan menerapkan strategi yang multi-segi dan konsisten ini, ekosistem pendidikan dapat berubah dari being a target menjadi benteng yang kuat terhadap sebaran paham intoleransi dan kekerasan," kata Darraz.
.png)
1 hour ago
1













































