Jakarta -
PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo mengakui adanya persoalan pendangkalan alur yang menuju ke sejumlah pelabuhan yang dikelolanya. Pendangkalan terjadi di Pelabuhan Belawan, Bengkulu, Kumai, Sampit, Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda.
GH Sekretariat Perusahaan Pelindo Ardhy Wahyu Basuki mengatakan dari sejumlah pelabuhan yang terjadi pendangkalan tersebut, hanya Pelabuhan Bengkulu yang saat ini mengalami gangguan operasional akibat pendangkalan.
"Pendangkalan memang terjadi pada alur yang menuju ke pelabuhan-pelabuhan Pelindo di Belawan, Bengkulu, Kumai, Sampit, Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda, namun hanya pelabuhan Bengkulu yang terdampak dari pendangkalan tersebut," katanya kepada detikcom, Minggu (27/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ardhy mengatakan, Pelindo sebagai operator pelabuhan, menyatakan kesiapannya untuk menangani permasalahan pendangkalan alur pelayaran. Hal ini guna menjaga kelancaran dan keselamatan aktivitas kepelabuhanan.
Meski begitu, Ardhy bilang saat ini pihaknya menunggu penugasan dari Pemerintah Indonesia untuk membereskan persoalan tersebut. Hal ini penting, lantaran untuk menjamin keberlanjutan operasional dan efektivitas pelaksanaan pengerukan, diperlukan dukungan skema pembiayaan yang jelas.
Termasuk alternatif penerapan channel fee atau biaya yang dikenakan bagi pengguna saat melintasi sebuah alur pelayaran yang difasilitasi oleh Pemerintah sebagai bentuk dukungan atas penyediaan layanan infrastruktur strategis tersebut.
"Penerapan channel fee memerlukan dukungan dari asosiasi terkait, dan Pelindo telah menerapkan skema dimaksud di alur pelayaran barat Tanjung Perak Surabaya dan alur sungai Barito Banjarmasin," katanya.
"Saat ini Pelindo sedang berupaya mengurus konsesi ke Kementerian Perhubungan agar dapat melakukan pengerukan di alur pelayaran dengan skema channel Fee untuk Pelabuhan Belawan, Bengkulu, Semarang dan Kumai," tambahnya.
Ardhy menambahkan, penanganan permasalahan pendangkalan alur pelayaran tidak bisa dilakukan oleh Pelindo sendirian, melainkan membutuhkan sinergi dan koordinasi yang erat antara Pelindo sebagai operator pelabuhan, Pemerintah selaku regulator dan pemilik kewenangan, serta para pengguna jasa dan pelaku logistik yang terdampak langsung.
"Kolaborasi ini penting untuk merumuskan solusi yang efektif dan berkelanjutan, termasuk dalam hal pembagian peran, skema pendanaan, serta penentuan prioritas pengerukan agar kegiatan pelayaran dan logistik tetap berjalan lancar dan efisien," katanya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR, Bambang Haryo Soekartono, menyoroti persoalan pendangkalan alur pelayaran di sejumlah pelabuhan utama di Indonesia. Kondisi ini dinilai berpotensi menghambat arus logistik nasional dan membahayakan operasional pelayaran.
Salah satu pelabuhan yang disebut mengalami pendangkalan parah adalah Pelabuhan Pulau Baai, Bengkulu. Selain itu, Bambang juga menyoroti kondisi serupa di Pelabuhan Tanjung Api-api (Palembang), Luwuk Banggai (Sulawesi Tengah), Pelabuhan Mako (Timika), serta pelabuhan di Pontianak, Kumai, Sampit, Banjarmasin, dan Samarinda.
"Pendangkalan alur pelayaran ini menyebabkan kapal kandas, lambung kapal rusak, dan distribusi logistik terganggu. Ini berdampak langsung pada biaya logistik yang melonjak dan ketidakefisienan distribusi barang," kata Bambang dalam keterangannya, Senin (14/4/2025).
Ia menjelaskan, pendangkalan yang dibiarkan selama bertahun-tahun membuat kapal harus menunggu air pasang untuk bisa masuk atau keluar pelabuhan. Kedalaman alur saat surut bahkan hanya berkisar 2-3 meter di beberapa lokasi. Akibatnya, pelabuhan tidak mampu menampung kapal besar dan antrean kapal menjadi tak terhindarkan.
"Sering terjadi antrean kapal berjam-jam bahkan berhari-hari. Tidak jarang juga terjadi tabrakan karena rebutan jalur yang dalam. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi soal keselamatan dan keberlangsungan ekonomi daerah," tegasnya.
Bambang mendesak Kementerian Perhubungan untuk segera melakukan normalisasi dan pengerukan alur pelayaran. Ia menegaskan bahwa kewenangan dan tanggung jawab tersebut sudah jelas tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, PP Nomor 5 Tahun 2010, dan Permenhub Nomor 40 Tahun 2021.
"Kemenhub harus segera ambil langkah konkret. Kalau dibiarkan, bisa dianggap melanggar undang-undang dan merusak target pertumbuhan ekonomi nasional," ujarnya.
(rrd/rir)