Pengusaha Khawatir Wacana Kemasan Polos Suburkan Rokok Ilegal

8 hours ago 5

Jakarta -

Produk rokok ilegal diprediksi meningkat imbas kebijakan kemasan polos untuk produk tembakau yang diwacanakan pemerintah. Dengan kemasan polos, konsumen akan kesulitan membedakan produk tembakau ilegal dan legal.

Alih-alih dapat menekan konsumsi tembakau, kebijakan kemasan polos ini justru dinilai mempersulit pengawasan di lapangan. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, mestinya pemerintah berkaca pada pengalaman Australia yang juga menerapkan kebijakan serupa, namun tak berdampak signifikan dalam menurunkan angka perokok.

Di saat yang sama, jumlah peredaran rokok ilegal justru tumbuh di Australia menjadi 381 ton pada tahun 2017 dari 182 ton di tahun 2014. Hal serupa juga dialami Prancis, di mana penjualan rokok naik 3% di tahun pertama penerapan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara di Inggris, Saleh menyebut prevalensi perokok hanya turun 0,4% dalam 3 tahun berdasarkan data ONS tahun 2020). Menurutnya, penerapan kebijakan yang sama tidak hanya merugikan konsumen, melainkan juga melemahkan produsen rokok legal.

Saleh mengatakan, produsen rokok ilegal berpeluang memanfaatkan kebijakan ini untuk memperluas peredaran produknya di pasar. Di sisi lain, konsumen juga akan kesulitan mengenali ciri khas produk tembakau dan membuka ruang bagi produk tiruan beredar tanpa terdeteksi.

"Produsen rokok ilegal dapat dengan mudah menjual produk mereka di pasaran dan mengancam eksistensi produsen rokok legal. Padahal Industri tembakau di Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam pendapatan cukai negara. Pada tahun 2024, IHT telah menyumbang Rp 216,9 triliun melalui cukai hasil tembakau (CHT)," ungkap Saleh dalam keterangan tertulisnya, Minggu (27/4/2025).

Berdasarkan survei Indodata Research Center, tercatat pertumbuhan rokok ilegal hingga 46,95% pada tahun 2024 dengan potensi kerugian mencapai Rp 96 triliun per tahun. Dalam situasi ini, kebijakan penghilangan identitas merek dikhawatirkan justru memperbesar ruang peredaran produk ilegal di pasar.

Saleh menjelaskan, kebijakan akan memicu dampak lanjutan pada peta persaingan pasar lantaran produk rokok ilegal yang dijual tanpa beban cukai dan pajak akan muncul dengan harga yang lebih terjangkau. Kondisi tersebut dapat mempercepat pergeseran pangsa pasar ke produk ilegal.

Tak hanya mempengaruhi pemain besar, pelaku usaha skala kecil dan menengah juga dikhawatirkan menjadi korban akibat persaingan yang tidak setara ini. Saleh menilai, saat ini segmen industri kecil sangat mengandalkan identitas merek dan kemasan sebagai kekuatan diferensiasi.

Dengan hilangnya ciri khas pada kemasan tembakau ilegal, produk legal akan terus terhimpit. Menurutnya, kondisi sangat berpotensi mematikan kelangsungan bisnis para produsen tembakau legal berskala kecil.

"Karena mereka tidak memiliki kapasitas modal seperti pelaku besar untuk bertahan. Akibatnya, pasar bisa semakin terkonsentrasi pada pelaku ilegal yang tidak memberikan kontribusi bagi perekonomian negara," tegas Saleh.

Sementara itu, berdasarkan temuan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Indonesia terancam kehilangan pendapatan lebih dari Rp 300 triliun jika kebijakan kemasan polos tetap diterapkan. Bahkan, terdapat potensi kebocoran fiskal akibat lemahnya pengawasan yang menggerus penerimaan perpajakan hingga Rp 106,6 triliun.

Ia menekankan, pemerintah perlu menyusun kebijakan secara transparan dan melibatkan seluruh stakeholder tembakau. Menurutnya, aturan yang bersifat formalitas akan melahirkan kebijakan yang tidak proporsional.

"Semoga ini bisa menjadi bahan evaluasi bersama agar ke depan kebijakan disusun lebih terbuka dan mempertimbangkan seluruh aspek secara proporsional," tutupnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam merancang kebijakan. Ia menekankan kebijakan harus disusun secara komprehensif agar tidak menabrak aturan lainnya.

"Jangan sampai kita membuat satu aturan, tapi menabrak aturan yang lain. Itulah pentingnya harmonisasi dan sinkronisasi. Kalau merek rokok dibuat samar-samar karena kebijakan kemasan polos, itu bisa berbenturan dengan aturan perlindungan merek yang terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Kalau administrasinya tidak bisa ditegakkan, baru masuk ke ranah pidana," jelas Edward.

(kil/kil)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |