Jakarta -
Berbekal satu-dua ember olahan tauco setiap hari, keluarga Hayati dan Safitri mampu memenuhi kebutuhan hidup. Bukan semata-mata 'berapa' yang dihasilkan dari usaha tersebut per hari, melainkan keberadaan usaha itu sendiri yang ternyata mendatangkan rejeki lewat jalan lain.
Maksudnya, dengan tekun menjalani usaha tauco rumahan ini selama bertahun-tahun, mereka akhirnya dipercaya mendapat pinjaman dari bank untuk berbagai kebutuhan. Bagi Hayati dan Safitri, ini adalah 'matematika Tuhan' yang kadang berada di luar nalar manusia.
Menjaga Ciri Khas Tauco Betawi Rumahan
Ditemui detikcom di rumahnya di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Safitri baru saja selesai merebus 13 kilogram kacang kedelai yang telah dicampur dengan garam dan sereh. Adonan kecoklatan itu memenuhi satu ember biru berdiameter 70 meter. Safitri membukanya sebentar sebelum ditutup lagi untuk proses fermentasi satu hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bikin gini prosesnya minimal dua hari. Ngerebus sehari, seharinya lagi buat fermentasi," tutur Safitri, Rabu (23/4/2025).
Usahanya ini merupakan 'turunan' dari sang mertua, Hayati. Sebelum menikah, suami Safitri yang merupakan anak ketiga Hayati membantu sang ibu menggarap seember kecil tauco tiap hari. Hasilnya dibagi dengan orang tuanya. Setelah menikah, barulah Safitri ikut terjun berbisnis tauco. Bukan membantu Hayati secara langsung, tapi menjalankan usaha tauconya sendiri di rumah orang tuanya di Parung.
"Pertama kali buka sendiri di Parung. Tapi tetap ngantarnya ke sini karena di Parung nggak jalan," ceritanya.
Ujung-ujungnya, Safitri dan suaminya kembali ke Kebayoran Lama dan punya rumah di Jalan Persatuan Amal Mulia. Hanya berjarak 3 kilometer dari rumah sang mertua di Jalan Madrasah. Usaha tauconya terus berjalan hingga saat ini.
Tauco yang diproduksi keluarga mereka adalah tauco betawi. Rasanya lebih asin dan bukan asam. Sebab, tauco ini tidak pakai pengawet kecuali garam. Meski begitu, tauco rumahan keluarga Hayati dan Safitri bisa bertahan maksimal sampai 2 bulan.
"Ini bertahan di kulkas dua bulan, tapi kalau di luar kulkas seminggu 10 hari berubah rasanya asem karena kadar garamnya udah berubah," jelasnya.
Sekali produksi, Safitri hanya menghasilkan satu bak. Sementara mertuanya bisa menghasilkan dua bak. Satu ember saja bisa dikemas menjadi 400 bungkus plastik, bahkan mungkin lebih. Tauco-tauco itu diantar ke 30 pelanggan di sekitar mereka, paling jauh ke Srengseng di Jakarta Barat.
Meski pelanggannya banyak, mereka tidak pernah berambisi meningkatkan volume produksi. Tetap satu-dua ember. Sebab, semuanya dikerjakan keluarga sendiri. Safitri hanya dibantu sang suami, yang sehari-hari juga bekerja di luar rumah. Hayati kerap dibantu oleh anak-anak dan menantunya untuk mencuci kacang, merebus, dan membungkus.
Kebiasaan ini dilakukan demi mempertahankan ciri khas tauco rumahan yang digarap dengan tangan sepenuhnya. Bahkan, kata Safitri, suaminya tidak mau pakai mesin press untuk sekadar mengikat bungkusan.
"Harus pakai karet. Kalau diganti pakai mesin press, nanti hilang ciri khas manualnya. Terus kalau ikat karetnya kurang benar, nanti itu plastiknya bisa bocor," ujar Safitri.
Keluarga pengusaha tauco Betawi. Foto: Debora Danisa Sitanggang/detikcom
Bisnis Kecil yang Berdampak Besar
Walaupun bisnis mereka kecil, terbukti kehidupan keluarga besar Hayati dan Safitri cukup. Hayati punya 5 anak dan semuanya sudah 'jadi', sudah berkeluarga dan punya rumah sendiri-sendiri.
Hayati sendiri menjalankan usaha tauco rumahannya sejak masih usai 20-an. Saat ini, Hayati berusia 63 tahun.
"Tahun 1985 udah dagang tauco, udah 40 tahun!" kata Hayati bangga.
Produksi tauconya dilakukan di lantai 2 rumahnya. Meski masuk usia senja, Hayati masih kuat membuat adonan tauco sendiri dan naik-naik tangga rumahnya yang cukup curam. Tapi untuk membungkus 400 lebih tauco dari satu bak saja, Hayati angkat tangan. Dia memasrahkannya pada anak dan menantunya.
"Dulu juga sempat jahit, jadi kuli jahit. Tapi berhenti karena capek," katanya.
Yang hari itu membantu Hayati membungkus tauco adalah anak sulungnya, Suryani. Dengan cekatan Suryani memasukkan satu sendok demi satu sendok adonan tauco ke dalam plastik. Tidak langsung diikat karena masih panas.
"Kalau proses lainnya kayak cuci kacang, merebus, itu masih agak gampang. Bungkusnya ini yang capek karena banyak," kelakarnya tanpa berhenti bekerja.
Menurut penuturan Safitri, Hayati merupakan mertua yang sangat dermawan dan menghargai tenaga sekecil apa pun. Makanya, dia tetap memberi upah untuk anak-anak dan menantunya yang membantu produksi tauconya.
Selain itu, bisnis tauco mereka juga terbukti membuat mereka dipercaya bank. Safitri yang sejak awal merupakan nasabah BRI terbantu dengan adanya usaha ini. Dia jadi bisa ambil pinjaman untuk berbagai keperluan.
Dipercaya Dapat Pinjaman BRI
Safitri mengaku pertama kali mengajukan pinjaman pada 2019. Waktu itu dia ingin mengembangkan bisnis dengan KUR dan mendapat Rp 35 juta. Setelah dua tahun, dia mengajukan top up untuk keperluan yang lebih besar. Yakni renovasi rumah. Pinjamannya pun meningkat dari KUR ke Kupedes senilai Rp 120 juta.
Tak cuma dia dan suaminya, Safitri juga mengajak anggota keluarga lain untuk ikut menjadi nasabah BRI. Mulai dari mertua, kakak ipar, adik ipar, semua akhirnya menjadi satu klaster yakni Klaster Tauco.
"Semua keluarga saya punya angsuran di BRI. Kuncinya itu ya kita harus punya usaha dan keluarga kita usahanya di tauco ini," kata Safitri.
Safitri bersyukur karena meskipun usahanya terbilang kecil, tapi masih begitu dipercaya untuk mengajukan pinjaman. Yang penting, menurut dia, usaha itu harus berjalan konsisten.
"Kalau kayak yang lain ngelihat kita usaha kayak begini kayaknya nggak mungkin deh, tapi kalau BRI support. Memang yang gampang itu BRI, terus orangnya menurut saya... entah ya mungkin karena saya udah biasa sama orang BRI, jadi BRI udah di hati," lanjutnya.
Hayati pun merasakan hal serupa. Dia bisa merenovasi rumahnya sehingga ada tempat lebih luas untuk usahanya dengan bantuan pinjaman BRI. Persyaratannya pun cukup mudah diikuti oleh dirinya yang sudah lansia.
"Nggak harus jaminan macam-macam, yang penting kita ada bukti usahanya, tertib bayarnya," kata Hayati.
Klaster tauco ini menjadi salah satu klaster yang jadi unggulan di wilayah Kebayoran Lama. Khususnya di bawah BRI Unit Rawa Belong. Kepala BRI Unit Rawa Belong Eko Sulistyo menyampaikan di wilayahnya terdapat beberapa paguyuban pengusaha kuliner. Namun, sejauh ini baru tauco yang menjadi klaster khusus dalam program Klusterku Hidupku.
"Yang sudah masuk klaster itu tauco, sudah kita bina. Memang tidak besar, hanya kumpulan orang yang membuat tauco yang kemudian dikirim ke pasar. Klaster ini ada satu keluarga," jelasnya.
(des/hns)