REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil kembali aparatur sipil negara di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan sebagai saksi kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA). Kasus tersebut terjadi di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Pemeriksaan bertempat di Gedung Merah Putih KPK atas nama RNR dan YRS, ASN bagian Visa di Ditjen Imigrasi Kementerian Imipas,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi dari Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Selain mereka, Budi mengatakan bahwa KPK memanggil seorang dosen antikorupsi di Akademi Refraksi Optisi Leprindo berinisial SBD. Berdasarkan informasi yang dihimpun, para saksi adalah Renra Hata Galih (RNR), Yuris Setiawan (YRS), dan Subandriyo (SBD).
Adapun Renra Hata Galih diketahui pernah bertugas di Kantor Imigrasi Kelas II TPI Tarempa. Sementara Yuris Setiawan sempat menjabat sebagai Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (Kasi Inteldakim) di Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok.
Untuk penyidikan kasus tersebut, KPK pada Senin (28/7/2025), memanggil dua orang pihak swasta berinisial IA dan AS sebagai saksi. KPK pada Selasa (29/7/2025), memanggil seorang guru berinisial SFZ, serta dua orang dari pihak swasta berinisial GP dan BT sebagai saksi kasus tersebut.
Pada Rabu (30/7/2025), KPK memanggil ASN bagian Visa di Ditjen Imigrasi Kementerian Imipas Angga Prasetya Ali Saputra dan dua orang saksi dari PT Batara Sukses Maju, yakni seorang direktur berinisial LNA dan komisaris berinisial MRD. Angga Prasetya Ali Saputra diketahui merupakan Kepala Seksi Pemeriksaan II Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, KPK mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp 53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA. KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Apabila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp 1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024. KPK lantas menahan delapan tersangka tersebut. Kloter pertama untuk empat tersangka pada 17 Juli 2025, dan kloter kedua pada 24 Juli 2025.
sumber : Antara