Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah mengkaji kebijakan mandatori perdagangan karbon khusus sektor industri.
Kemenperin Kaji Kebijakan Perdagangan Karbon Bagi Industri. (Foto:MNC Media)
IDXChannel - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah mengkaji kebijakan mandatori perdagangan karbon khusus sektor industri. Rencananya, kebijakan itu akan diimplementasikan pada tahun ini secara bertahap.
Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin Apit Pria Nugraha mengatakan di Uni Eropa akan memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di 2026 mendatang. Bahkan, CBAM sendiri merupakan pajak perbatasan karbon pertama di dunia.
Ia menyebut, saat ini pemerintah masih memetakan sistem informasi yang menampung data karbon industri. Dengan sistem informasi ini, nantinya perhitungan perdagangan karbon antar industri baru dapat dilakukan.
“Minimal kita sudah punya dua periode data, minimal dua tahun. Dan dua tahun ini datanya harus data matang, bukan data coba-coba,” katanya dalam acara Beyond Zero: Carbon Neutrality (CN) Mobility Event di Kemayoran Jakarta, Kamis (13/2/2025).
Ia menjelaskan pasar karbon yang akan dirilis berbeda dengan IDX Carbon. Kebijakan ini sifatnya masih voluntary atau sukarela.
"Yang kami susun adalah mandatory carbon market. Yang sudah exist itu namanya voluntary carbon market," ujar Apit.
Ia menambahkan kebijakan mandatori pasar karbon ini awalnya akan diberlakukan pada empat sub sektor industri. Adapun keempat sub sektor itu yakni industri semen, pupuk, kertas dan pulp, serta besi baja.
Adapun empat sektor yang wajib mengikuti pemenuhan pembatasan emisi adalah industri semen, pupuk, baja dan kertas. Aturannya mandatory carbon market ini tengah dalam penyusunan demi upaya menurunkan emisi dalam negeri.
"Empat subsektor tadi yang emisi aktualnya diatas 25 ribu ton CO2 equivalent. Maka dia wajib harus memenuhi pembatasan emisi. Konteks wajibnya itu adalah wajib dikenakan kebijakan pembatasan emisi. Kita nyebutnya emission allowance," ujarnya.
Dalam aturan perdagangan karbon ini, nantinya Kemenperin bakal menetapkan batasan atau jatah emisi yang boleh dikeluarkan oleh ke-empat industri tersebut. Apabila, dalam pelaksanaannya nanti realisasi emisi yang dikeluarkan melebihi batas, maka akan dikenakan pungutan.
Sebaliknya, apabila realisasi emisi yang dikeluarkan di bawah jatah yang diberikan, maka bisa diperdagangkan kepada industri lainnya.
Apit menegaskan untuk pungutan kelebihan emisi hanya akan dikenakan 5 persen dari total kelebihannya. Misalnya, emisinya kelebihan 20, maka hanya 5 persen dari jumlah itu yang dikenakan pungutan.
"Konteks pajak carbon tax beda lagi. Ini tungutan emisi, misalnya cuma 5% dari kelebihannya. Sisanya yang 95% dari kelebihan itu, dari 20 tadi itu, itu bisa membeli dari pasar karbonnya. Bisa membeli dari yang surplus." terangnya.