IHSG Terkoreksi Lebih Dalam dari Bursa Asia, Apa Penyebabnya?

1 week ago 16

IHSG sesi I turun 7,71 persen atau 502,14 poin ke level 6.008 dengan total volume saham yang diperdagangkan sebanyak 14,28 miliar saham.

IHSG Terkoreksi Lebih Dalam dari Bursa Asia, Apa Penyebabnya? (Foto: MNC Media)

IHSG Terkoreksi Lebih Dalam dari Bursa Asia, Apa Penyebabnya? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi lebih dalam dibandingkan Bursa Asia pada perdagangan Selasa (8/4/2025). 

Tercatat, IHSG sesi I turun 7,71 persen atau 502,14 poin ke level 6.008 dengan total volume saham yang diperdagangkan sebanyak 14,28 miliar saham.

Nilai transaksinya mencapai Rp12,57 triliun, dan ditransaksikan sebanyak 888.589 kali. Adapun sebanyak 672 saham harganya turun, 23 saham harganya naik dan 93 saham lain harganya stagnan.

Namun, pasar saham regional seperti Malaysia (KLCI) dan Filipina (PSEi) hanya mengalami koreksi moderat, sementara IHSG terjerembab lebih dalam.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, perkara ini tidak hanya terletak pada guncangan global, tapi juga disebabkan oleh kerapuhan struktural pasar keuangan dalam negeri. 

“Hal ini mengindikasikan bahwa masalah utama bukan hanya pada arus global, melainkan pada kerentanan spesifik Indonesia.  Sebagai pasar berkembang (emerging market), Indonesia memang rentan terhadap aliran modal asing yang fluktuatif,” ujar Achmad.

Dia mencatat, penurunan tajam di pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa pada Senin (7/4/2025) kemarin, menjadi pemicu awal kepanikan di Asia. Indeks pan-Eropa STOXX 600 anjlok 4,5 persen, disusul penurunan serupa di London (FTSE 100 -4,38 persen) dan Paris (CAC 40 -4,78 persen). 

Di AS, Dow Jones kehilangan 0,91 persen, meski Nasdaq masih bertahan di wilayah positif. Guncangan ini memang berdampak pada pasar Asia, termasuk Indonesia. Namun, pasar saham regional hanya mengalami koreksi moderat, sedangkan IHSG anjlok lebih dalam.  

“Tapi mengapa negara dengan fundamental makro cukup sehat seperti Indonesia justru lebih rapuh dibandingkan negara ASEAN lain," ujar dia.

“Di sinilah kita perlu menggali lebih dalam, mencari akar masalah yang mungkin tersembunyi di balik permukaan,” kata Achmad. 

Menurutnya, penurunan IHSG bisa jadi karena berbagai faktor internal yang membuat pasar Tanah Air lebih rentan terhadap guncangan. Salah satunya komposisi investor di Bursa Efek Indonesia (BEI). 

Dominasi investor ritel yang cenderung lebih mudah panik dan mengikuti sentimen jangka pendek, ditambah dengan porsi investor asing yang signifikan dengan aliran dana bersifat hot money atau mudah masuk dan keluar, menciptakan struktur pasar yang kurang stabil. 

Ketika sentimen global memburuk, investor asing cenderung menarik dananya (capital outflow) dari pasar negara berkembang yang dianggap lebih berisiko, sementara investor ritel lokal ikut panik menjual (panic selling), menciptakan efek bola salju yang menekan indeks secara drastis. 

Berbeda dengan pasar lain yang memiliki basis investor institusional domestik yang lebih kuat dan berorientasi jangka panjang, yang bisa berfungsi sebagai penahan (buffer) saat terjadi gejolak. Faktor lain yang mungkin berperan adalah isu likuiditas dan struktur pasar itu sendiri. 

“Apakah ada konsentrasi berlebih pada saham-saham tertentu yang sangat sensitif terhadap isu global (misalnya komoditas atau sektor yang bergantung pada perdagangan internasional),” ujar Achmad.

Isu tata kelola perusahaan alias good corporate governance (GCG) yang belum merata, transparansi informasi yang kadang bias, serta potensi adanya sentimen negatif di pasar domestik muncul bersamaan dengan tekanan global, bisa memperparah situasi. 

“Jangan lupakan pula faktor psikologis pasar pasca libur panjang Lebaran, di mana pelaku pasar mungkin kembali dengan tingkat kewaspadaan atau bahkan kecemasan yang lebih tinggi terhadap akumulasi berita selama libur,” kata dia.

Selain itu, komposisi indeks IHSG yang didominasi sektor komoditas baik pertambangan, perkebunan, dan perbankan membuatnya rentan terhadap siklus ekonomi global. 

“Sementara negara seperti Vietnam dan Singapura telah mendiversifikasi ekspor dan pasar modal ke sektor teknologi atau jasa keuangan, Indonesia masih terjebak dalam mentalitas ekonomi bahan mentah. Ketika harga komoditas bergejolak, seperti yang terjadi akhir-akhir ini, IHSG langsung terpukul,” tutur dia. 

(DESI ANGRIANI)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |