Empat saham emiten bank besar serentak melemah kembali pada Senin (11/11), melanjutkan tren penurunan sejak pekan lalu seiring berlanjutnya aksi jual asing.
Empat Saham Bank Raksasa Kembali Kompak Melemah. (Foto: Freepik)
IDXChannel – Empat saham emiten bank besar serentak melemah kembali pada Senin (11/11/2024), melanjutkan tren penurunan sejak pekan lalu seiring berlanjutnya aksi jual investor asing usai pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 10.07 WIB, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) melemah 1,74 persen ke Rp9.900 per saham.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp510,1 miliar dan volume perdagangan 40,3 juta saham.
Dengan ini, emiten dengan kapitalisasi pasar (market cap) terbesar di bursa ini sudah memerah selama 4 hari tanpa henti atau sejak Rabu (6/11) pekan lalu.
Saham bank BUMN PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) juga terkoreksi, yakni sebesar 1,98 persen ke Rp6.200 per saham.
Seperti BBCA, saham BMRI juga selalu ditutup melemah selama 4 hari beruntun, mengimplikasikan kinerja mingguan minus 7,78 persen.
Saham bank pelat merah lainnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) berada di zona pelemahan, tergerus 3,01 persen, sedangkan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) juga terdepresiasi sebesar 3,32 persen.
Saham BBNI terkoreksi selama 4 hari berturut-turut, sementara BBRI turun sejak Selasa (5/11) pekan lalu.
Saham bank-bank raksasa menjadi incaran utama aksi jual asing sejak pekan lalu seiring memerahnya bursa saham Indonesia.
Ambil contoh, nilai jual bersih (net sell) asing di BBCA mencapai Rp1,32 triliun di pasar reguler selama sepekan. Di periode yang sama, net sell asing di BBRI tercatat sebesar Rp1,33 triliun.
Pada Rabu (9/11) dan Kamis (8/11) pekan lalu, IHSG masing-masing melorot 1,44 persen dan 1,90 persen, sebelum sempat mengalami technical rebound 0,60 persen pada Jumat (9/11).
Kemenangan Donald Trump di pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) pada Rabu (6/11) pekan lalu dikhawatirkan menggencarkan kebijakan yang menekan negara Asia, termasuk Indonesia.
Menurut catatan Reuters, Kamis (7/11/2024), Trump telah berjanji akan menerapkan tarif baru yang kemungkinan besar akan signifikan pada berbagai barang dari negara-negara seperti China dan Meksiko.
Tarif ini kemungkinan akan mendorong inflasi dan, pada gilirannya, memperkuat dolar AS serta memperlambat pelonggaran kebijakan Federal Reserve (The Fed).
Hal tersebut pada gilirannya berpotensi menarik dana keluar dari pasar negara berkembang, seperti yang telah terjadi akibat penguatan dolar AS.
Kendati dalam jangka pendek, saham-saham perbankan mengalami guncangan, efek kekhawatiran investor terhadap kebijakan Trump nantinya, emiten tersebut dinilai masih memiliki prospek yang cerah ke depannya.
Prospek Emiten Bank Kakap
Laporan kinerja kuartal III-2024 dari sejumlah bank yang dipantau DBS Group Research menunjukkan hasil yang umumnya sesuai ekspektasi.
Menurut riset DBS yang terbit pada 4 November 2024, BBRI sedikit mengungguli perkiraan analis berkat pemulihan kinerja keuangan yang lebih tinggi dari yang diharapkan.
Analis DBS menjelaskan, pertumbuhan laba perbankan di kuartal III-2024 didorong oleh peningkatan penyaluran kredit yang kuat, meski dihadapkan pada tekanan biaya dana (cost of funds/CoF).
Beberapa bank juga berhasil menjaga biaya kredit pada level yang rendah. DBS memperkirakan tren positif ini akan berlanjut pada kuartal IV-2024, seiring dengan proyeksi pertumbuhan kredit yang kuat.
Tekanan Biaya Dana Belum Mereda
Pertumbuhan kredit dari bank-bank yang dicakup oleh DBS Research tetap positif sepanjang sembilan bulan pertama 2024 (9M24), dengan laju pertumbuhan tahunan (yoy) antara 8 persen hingga lebih dari 30 persen.
Namun, tekanan CoF belum mereda di kuartal III-2024, meski Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan pada September lalu.
Net Interest Margin (NIM) tetap stabil atau meningkat sejak kuartal I-2024, bahkan naik hingga 40 bps pada BBNI berkat tambahan likuiditas dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM). DBS berharap tekanan NIM berkurang seiring ekspektasi penurunan suku bunga kebijakan pada kuartal IV-2024 dan 2025.
Kualitas Aset Terjaga
Bank-bank terus menunjukkan kualitas aset yang stabil, termasuk BRI yang mencatat perbaikan kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL), biaya kredit, dan Loan at Risk (LaR).
Secara khusus, BRI—untuk level bank only—berhasil menurunkan NPL dan biaya kredit masing-masing sebesar 17 bps dan 23 bps secara kuartalan.
Namun, salah satu anak usahanya, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), mencatat biaya kredit signifikan sebesar 10,6 persen pada kuartal III-2024, dengan biaya kredit 9M24 mencapai 7,6 persen akibat eksposur tinggi di segmen mikro.
Meski terdapat tantangan di segmen mikro, DBS optimistis bank-bank mampu menjaga kualitas aset melalui praktik penyaluran kredit yang ketat.
Saham Bank Pilihan
DBS menaikkan rekomendasi untuk PT Bank Jago Tbk (ARTO) dari tahan (hold) menjadi beli (Buy), dan BRI dari fully valued menjadi tahan (hold).
Informasi saja, fully valued menggambarkan kondisi ketika harga efek atau saham dianggap sudah sesuai dengan nilai wajarnya (fair value).
Kenaikan peringkat ARTO didorong oleh prospek pertumbuhan kredit yang lebih baik dan produk pinjaman langsung baru, sedangkan untuk BRI, didorong oleh potensi dividen dengan imbal hasil (yield) sekitar 7 persen di tahun fiskal 2024 (FY24F).
Kendati demikian, BBCA dan BMRI tetap menjadi pilihan utama DBS.
BBCA unggul berkat likuiditas yang kuat dan kinerja stabil, sementara BMRI dinilai unggul dalam hal pengumpulan dana simpanan dibandingkan bank lain. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.